Pengamat: ‘New Normal’ Idealnya Berbasis Teknologi Sosial

Bustami kemudian membuat simulasi situasi di ‘pasar rakyat’ tentang bagaimana gambaran teknologi sosial yang mungkin bisa dibuat oleh pemerintah. Disebut pasar rakyat, karena memang semula jadinya pasar-pasar tersebut muncul dan terbentuk oleh rakyat itu sendiri. Tipologinya bersifat bottom-up dan setelah berkembang semakin ramai barulah pemerintah ‘turun tangan’ untuk mengaturnya.

Kondisi Pasar Besar dan Pasar Pagi di Pangkalpinang, dua contoh pasar yang terbentuk secara bottom-up, ini tentu saja berbeda dengan mall-mall yang disebut pasaraya itu, terbentuk secara top-down yang tentu saja lebih mudah diatur karena sejak awal sudah structured.

“Kalau kita ingin menerapkan aturan new normal di Pasar Pagi misalnya, maka penerapannya harus lebih bijak, dan konsisten. Mengapa? Karena yang berjualan dan pembelinya sebagian besar datang dari unstructured community yang merupakan titik lemah kontrolnya oleh pemerintah,” tandas mantan rektor pertama Universitas Bangka Belitung (UBB) ini.

Jadi, menurut Bustami, wajar jika di lokasi pasar dan juga di jalan-jalan, sering terjadi ‘benturan’ antara petugas dan publik. Ini wajar saja karena strukturnya yang berbeda itu.

Guru besar yang sebelum pindah tugas ke UBB sempat mengabdi sebagai dosen di FISIP Universitas Jember, Jawa Timur, ini, melanjutkan, mungkin anggota Pol PP akan lebih banyak mengawal kebijakan publik dalam mengontrol pemakaian masker dan mengontrol jarak. Mungkin pula kontrol pemakaian masker lebih mudah ketimbang kontrol jarak, apalagi cuci tangan.

Bustami pun menyarankan di tiap sudut pasar dipasang pengeras suara yang selalu mengingatkan aturan itu.

Lihat juga...