Pengamat: ‘New Normal’ Idealnya Berbasis Teknologi Sosial
Salah satu negara yang dinilai berhasil mengatasi Covid-19 dengan menerapkan teknologi sosial secara rapi, yakni negara Selandia Baru.
Menurut Bustami Selandia Baru tidak hanya berkutat pada para dokter saja, tetapi segera memanfaatkan para sosiolog, psikolog dan antropolog untuk merancang perencanaan sosial berbasis teknologi sosial yang ilmiah, dan itu membutuhkan konsep dari para ahli ilmu sosial. Tidak boleh sembarangan agar benar-benar efektif.
Bustami menjelaskan, secara garis besar ada dua belahan publik. Pertama adalah yang berada di dalam struktur formal atau secara konsep disebut structured community. Contoh publik yang berada dalam structured community ini adalah publik yang berada di dalam struktur kelembagaan formal. Misalnya, para ASN (termasuk Polri), BUMN, BUMS, TNI, lembaga pendidikan swasta dan berbagai perkantoran lainnya.
“Menurut perkiraan saya jumlah publiknya bersama seluruh keluarga mereka paling banyak tidak lebih daripada 30%,” kata Bustami.
Penerapan aturan new normal di kalangan structured community, kata Bustami, jauh lebih mudah karena ia berstruktur formal. Dalam struktur formal yang ketat selalu ada minimal dua faktor, yakni hirarki komando dan aturan yang bersifat normatif atau normative rules. Dengan dua ‘kekuatan’ ini, publik bisa selalu terkendali dan diarahkan yang dikawal pula oleh mekanisme reward-sanction yang jelas.
Sebaliknya, lanjut Bustami, terdapat publik yang berada di dalam unstructured community, publik yang lebih tidak berstruktur ketat yang jumlahnya jauh lebih besar katakanlah sekitar 70% yang bertebaran di mana-mana, di rumah-rumah, jalan, pasar dan lain sebagainya. Mereka tidak memiliki hirarki komando dan aturan normatif yang ketat dan terbatas sehingga jauh lebih sulit dikontrol dan juga lebih tidak mudah untuk disosialisasi.