Pengamat: ‘New Normal’ Idealnya Berbasis Teknologi Sosial
JAKARTA — Pemerintah pusat telah membuat peraturan terkait skenario new normal , disusul pula pemerintah daerah mengambil kebijakan masing-masing, maka ia telah menjadi kebijakan publik. Oleh karenanya tidak boleh digantung sebagai aturan tertulis, tetapi harus diimplementasikan langsung ke publik.
Pengamat sosiologi, Prof. Dr. Bustami Rahman, M.Sc, mengatakan ada dua macam pengertian tentang publik. Publik sebagai pemerintah dan publik sebagai rakyat.
“Di dalam negara demokrasi, kebijakan publik begitu diterapkan, terkenalah kepada kedua pihak itu tanpa kecuali,” ujarnya melalui keterangan tertulis yang diterima Cendana News, Kamis (11/6/2020).
Bustami Rahman menjelaskan, new normal atau apapun istilah yang diberikan (Transisi, PSBT, atau pun Abnormal Sementara) adalah aturan yang diterapkan untuk membentuk kebiasaan sikap dan perilaku yang tidak biasa lakukan sehari-hari. Sekarang, kebiasaan itu harus dilakukan karena dipaksa oleh kondisi dan situasi merebaknya Covid-19.
“Salah satu aturan kebijakan publik yang populer sekarang adalah berkenaan dengan protokol kesehatan, yakni publik harus melakukan beberapa hal yang sebelumnya tidak pernah atau jarang sekali mereka lakukan,” tutur Ketua Lembaga Adat Melayu Negeri Serumpun Sebalai (LAM NSS), Provinsi Bangka Belitung ini.
Bustami pun mencontohkan apa yang sebelumnya jarang dilakukan oleh publik, seperti harus mengenakan masker jika keluar rumah atau menerima tamu di rumahnya atau di kantor, menjaga jarak fisik satu sama lain, mencuci tangan sebelum atau sesudah bertemu di dalam ruang publik dan lain sebagainya.
Namun, Bustami menegaskan, kebijakan publik yang akan diterapkan di tengah publik secara teoretis haruslah diantarai oleh suatu perencanaan sosial. Substansi dan esensi dari perencanaan sosial (social planning) itu, jelas Bustami, adalah teknologi sosial (social technology). Istilah lain dari teknologi sosial adalah rekayasa sosial atau social engineering.