Pancasila sebagai Landasan Etik
OLEH HASANUDDIN
Plato misalnya mengatakan, bahwa jiwa agar dapat mencapai kebijaksaan, mesti dipisahkan dengan tubuh. Karena tubuh itu dipenuhi nafsu, amarah, dorongan seksual, dan seterusnya. Peperangan menurut Plato semuanya terjadi karena dorongan yang beraumber dari tubuh. Ajaran asketisme Plato ini memengaruhi pola kehidupan Gereja, sehingga kita mengenal doktrin selibat misalnya dalam tradisi para pendeta ortodoks. Atau pemisahan asrama antara biarawan dan biarawati, larangan mendengar musik yang hingar-bingar karena merangsang adrenalin, dan seterusnya.
Belakangan ini, kita membaca pengakuan Paus bahwa pemimpin tertinggi Gereja Katolik di Roma itu, mengakui bahwa telah terjadi pelecehan seksual yang berlangsung ribuan tahun dalam tradisi Gereja, dan masih sering kita temukan beritanya hingga hari ini, termasuk kejadian di Depok beberapa hari lalu. Hal yang tidak banyak, bahkan tidak terdengar dari kalangan Gereja Protestan. Sebaliknya menurut Marx Weber, etika Protestan telah memberi pengaruh bagi tumbuhnya semangat kapitalisme dalam masyarakat Protestan. Dan memang kenyataannya, kita tidak menemukan pola hidup asketisme dalam tradisi Protestan.
Etika Plato dengan demikian tidak dapat kita terima karena dalam kenyataannya, bertentangan dengan prinsip-prinsip kemanusiaan universal.
Pengaruh Plato, tidak hanya menyusupi Kristianitas. Pengaruhnya terhadap tradisi Islam, juga besar. Pandangan Plato misalnya tentang manusia ideal, sebagai yang diciptakan Tuhan, dan manusia lainnya hanyalah emanasi dari manusia ideal ini, seperti halnya kuda ideal beremanasi menjadi kuda partikular, dan sebab itu kuda partikular tidaklah sempurna sebagaimana kuda ideal, telah menumbuhkan suatu konsepsi pemahaman akan adanya sosok yang ideal, sosok manusia sempurna.