Tradisi ‘Munggahan’, Budaya Betawi Sambut Ramadan
Redaktur: Satmoko Budi Santoso
Bahkan imbuhnya tak jarang menjelang malam hari, biasanya dilakukan setelah usai salat Maghrib ataupun usai salat Isya, masyarakat melaksanakan tradisi rowahan, pengajian dan tahlilan yang dipimpin oleh seorang ustaz untuk mengirimkan doa kepada para ahli kubur.
“Semalaman biasanya para ustaz maupun amil kebanjiran order untuk memimpin doa atau tahlilan. Bahkan pagi harinya banyak pula orang yang melakukan ziarah kubur dan nyekar di makam,” tandasnya.
Saat itulah tukang kembang dan air mawar ikutan panen rejeki. Budaya dan tradisi semacam ini tentu saja memberikan nilai positif bagi yang melakukannya.
Demikian pula tradisi munggahan juga terus bergulir, terus berakrobat di tengah hiruk pikuk peradaban modern yang justru kurang jelas arahnya. Menurut Aki Maja pula, sebagian anak serta remaja sekarang tidak mampu lagi memahami budaya para orangtuanya.
“Tidak sedikit yang memandang bahwa itu merupakan budaya norak dan malu-maluin. Mungkin mereka juga berpikir, budaya munggahan bikin repot,” tukasnya.
Namun bagi yang masih memiliki kepedulian akan besarnya makna, seyogyanya tetap menjaga silaturahmi agar budaya munggahan juga masih tetap dipertahankan. Bisa saja dengan sentuhan yang lebih modern.