Besesandingon, ‘Social Distancing’ ala Orang Rimba
Redaktur: Satmoko Budi Santoso
Sebagai contoh, bila ada anggota keluarga yang baru pulang dari luar hutan yang jaraknya jauh, tidak akan langsung tinggal di rumahnya, akan tetapi membuat sudung atau rumah tenda sendiri yang jaraknya paling dekat 200 meter dari rumah keluarganya, dengan tujuan jika membawa penyakit dari luar, tidak akan menulari yang lain. Minimal satu minggu tidak sakit, berarti bisa satu rumah kembali dengan keluarganya
“Budaya mitigasi yang melekat pada suku anak dalam, itu yang mereka sebut besesandingon. Kearifan lokal ini, menjadi hal yang sangat relevan dengan kondisi pandemi Covid-19 saat ini,” ungkap Haidir.
Menurut Temenggung Bepayung, dan mantan Temenggung Tarib yang sekarang menjadi tetua adat, orang rimba sudah terbiasa secara turun temurun melakukan besesandingon, yaitu memisahkan diri atau menjauhkan diri dari orang sakit atau yang diduga mengidap penyakit menular, termasuk penyakit pilek dan batuk. Jadi begitu mereka mengetahui tentang penyakit Corona, respon yang sama dilakukan oleh mereka.
Akibat pengaruh dari luar, menurut Temenggung Tarib, Orang Rimba zaman dulu dengan sekarang sudah berbeda atau berubah dalam hal menerapkan kebiasaan turun temurun dari nenek moyangnya. Orang rimba zaman dulu sangat ketat menerapkan pantangan dan larangan adat di dalam kelompok.
“Contoh, zaman dulu jika ada yang sakit batuk saja, itu tidak boleh melewati jalan yang biasa dilewati di dalam hutan. Kalaupun terpaksa, si penderita penyakit tersebut harus memberi tanda di ujung dan pangkal jalan, bahwa jalan tersebut baru saja dilewati oleh orang sakit, sehingga jalan tersebut tidak boleh dilewati orang lain yang sehat, selama minimal 7 hari atau 1 minggu. Tanda yang biasa dipasang di ujung atau pangkal jalan adalah ranting pohon atau kayu berduri,” jelasnya.