Setiba di jalan kampung, kau gegas menuju rumah Datuk untuk melaporkan bahwa pekerjaanmu telah selesai. Semakin cepat melapor, semakin cepat dibayar, pikirmu.
Kau tiba saat tauke gaek itu baru saja duduk di kursi santai depan rumahnya. Setelah urun salam, berbasa-basi sejenak, kau langsung menyampaikan maksud kedatangan.
Sang tauke tersenyum, lalu bangkit dan tergopoh-gopoh masuk ke rumahnya. Keluar lagi beberapa menit kemudian, membawa sebuah amplop putih di tangan. Amplop itu disodorkannya kepadamu.
Kau menerima dan memasukkannya ke saku celana dengan penuh suka cita. Setelah mengucapkan terima kasih yang disertai ‘Ah, tak perlu dihitunglah, Tuk. Datuk pasti sudah lebih pandai menghitung daripada aku’, kau permisi untuk pulang.
Sepanjang jalan, senyummu tak henti-henti terkembang. Otakmu sibuk memikirkan hal asyik apa saja yang bisa dilakukan bersama si bocah di kota kabupaten besok pagi.
“Setelah membeli sepatu bola, aku akan mengajaknya main di taman kota. Naik perahu angsa sambil kasih makan ikan-ikan, pasti seru,” anganmu. Kau lalu mencoba memikirkan hal asyik lainnya, tetapi tak ada lagi yang mampu kau pikirkan, sebab kau pun tak banyak tahu hal asyik apa saja yang bisa dilakukan di kota.
Beberapa langkah menjelang sampai ke jalan setapak depan rumahmu kau bahkan sudah bisa melihat istrimu yang tengah mengangkat jemuran, tanpa kau sadari sebuah takdir tengah melaju cepat ke arahmu.
Kau masih tersenyum, ketika mobil mewah itu menyeruduk sisi kanan tubuhmu, membuatmu terpental dan mendarat tepat di jalan setapak depan rumahmu. Barang-barang bawaanmu berserakan.
Untuk beberapa detik, kau masih bisa mendengar sayup-sayup suara seseorang memekik, lalu dengingan yang panjang. Lalu, sesaat setelah darah segar tersembur dari mulutmu, pandanganmu mengabur, dan, kau tak tahu apa-apa lagi.
***
KAU terjaga dengan kepala yang terasa berat. Matamu mengerjap-ngerjap, berusaha menyesuaikan dengan cahaya lampu yang sekonyong-konyong terasa sangat menyilaukan.