Biaya Operasional Petani Jagung di Lamsel, Membengkak
Editor: Koko Triarko
Biaya yang lebih besar saat musim tanam rendengan, juga diakui Dewo, petani lain di Desa Ruguk, Kecamatan Ketapang. Penanaman jagung dengan buruh tanam, pemupukan, penyemprotan dominan dibayar secara tunai. Beruntung, sebagian benih, pupuk dan insektisida yang dibeli dari toko pertanian bisa dicicil.
Pembelian dengan sistem mencicil atau bayar panen (yarnen) meringankan beban petani.
“Jika hasil panen tidak maksimal dan harga jual anjlok, sebagian petani berpotensi memiliki utang yang banyak,” cetus Dewo.
Meski demikian, ia menyebut tanpa penyediaan pupuk dan pembasmi hama tanaman, jagung tidak bisa tumbuh maksimal. Ia hanya berharap, tanaman jagung miliknya bisa pulih setelah memasuki usia satu bulan. Sebab, hama ulat grayak tidak menyerang tanaman jagung yang sudah tua. Meski sebagian bisa pulih, ia memastikan produksi tanaman jagung tidak akan maksimal.
Biaya operasional selama masa tanam rendengan, menurutnya melonjak sekitar 20 persen. Pembengkakan biaya operasional dominan terjadi pada pembelian insektisida dan herbisida. Sebab, populasi hama ulat grayak bisa dimusnahkan dan dikurangi memakai jenis insektisida kontak, yang harga termurahnya mencapai Rp250 ribu per botol. Sementara penyemprotan dilakukan selama beberapa kali.
Petani lain di Bakauheni, Agus Irawan, mengaku lebih aman dari hama ulat grayak. Meski demikian, ia harus membeli pupuk nonsubsidi untuk memupuk tanaman jagungnya. Pembelian pupuk nonsubdisi dilakukan, agar ia bisa mempercepat pemupukan. Sebab jika membeli pupuk subsidi, ia harus menggunakan sistem online melalui kelompok.
“Daripada lama menunggu, lebih baik saya membeli pupuk nonsubsidi, meski harga lebih mahal,” beber Agus Irawan.