Biaya Operasional Petani Jagung di Lamsel, Membengkak

Editor: Koko Triarko

LAMPUNG – Memasuki masa tanam di musim penghujan atau rendengan, sejumlah petani jagung di Lampung Selatan, justru mengalami peningkatan biaya operasional.

Soleh, petani di Desa Sukabaru, Kecamatan Penengahan, Lampung Selatan, menyebut biaya operasional sudah dikeluarkan sejak masa pengolahan. Petani harus menyiapkan lahan dengan menyemprot menggunakan herbisida.

Menurut Soleh, penggunaan herbisida dilakukan sejak awal proses pengolahan hingga benih tumbuh. Pada tahap tanaman jagung, tumbuh gulma jenis rumput yang berkembang dengan cepat. Penggunaan herbisida untuk pembasmi rumput, membuat ia harus mengeluarkan biaya ekstra, karena pembersihan gulma cara manual, kurang efektif.

Selain pembasmi gulma rumput, Soleh menyebut pada masa tanam rendengan, jagung mendapat serangan hama ulat grayak, yang menyebabkan daun dan batang tanaman jagung, rusak. Pengurangan hama ulat grayak dilakukan menggunakan insektisida kontak. Penggunaan insektisida, membuat petani mengeluarkan biaya ekstra lagi.

Ahmad Widodo, petani sekaligus Humas KTNA Penengahan, Lampung Selatan, saat berada di kebun jagung miliknya, Jumat (31/1/2020). -Foto: Henk Widi

“Pada musim tanam sebelumnya, gulma dan hama tidak sebanyak masa tanam tahun ini, biaya operasional sebelum jagung berbuah sudah cukup banyak, sehingga memberatkan petani,” ungkap Soleh, Jumat (31/1/2020).

Pengeluaran biaya operasional, menurut Soleh mencapai Rp500 ribu per hektare untuk membasmi ulat grayak. Penggunaan tiga kali, dipastikan ia mengeluarkan biaya hingga Rp1,5 juta. Biaya tersebut belum termasuk biaya lain yang dikalkulasikan sebagai biaya perawatan. Pada satu kali musim tanam, total bisa mengeluarkan biaya hingga Rp10 juta.

Lihat juga...