Belajar Seni Pahat di Anjungan Papua Barat TMII
Redaktur: Satmoko Budi Santoso
“Warna putihnya dari kapur. Putih ini perlambang kesucian. Sedang hitam itu kulit. Warna hitam ini terbuat dari arang,” ujarnya.
Kekhasan pahatan suku Asmat terlihat pada pola yang natural sehingga membuat pahatan atau ukiran tersebut bernilai tinggi.
“Pahatan yang saya buat ini ukuran kecil, dijual murah Rp 100 ribu. Selalu saja ada pengunjung yang membeli dan bahkan memesannya,” kata Yafet.
Dalam sebulan dia mengaku selalu saja ada pengunjung yang membeli dan memesan patung kreasi pahatan ragam motif khas suku Asmat.
“Tergantung pesanan, kadang ada yang sudah jadi dibeli pengunjung. Ya dalam sebulan terjual sekitar 5 pahatan lebih. Puji syukur bisa mengais rejeki di TMII, dalam sebulan Rp 1 juta lebih dapat,” ungkapnya.
Yafet merasa bersyukur bisa difasilitasi Anjungan Papua Barat dalam mengkreasikan ekspresi jiwanya dalam memahat.
Jika ada pengunjung yang bertanya tentang seni memahat, dengan sabar dia pun memberikan penjelasan. Karena menurutnya, sudah menjadi tugas dirinya untuk memberikan edukasi kepada pengunjung tentang seni pahat atau ukiran khas suku Asmat.
“Saya ingin memperkenalkan seni budaya khas Asmat, salah satunya pahatan ini,” ujar Yafet.
Menurutnya, bagi masyarakat suku Asmat seni pahat merupahan bagian kehidupan sehari-hari, yang dilakukan secara turun temurun sebagai warisan budaya nenek moyang.
“Saya sejak kecil sudah belajar memahat dan ukiran. Usia 19 tahun ke Jakarta, dan awalnya di daerah Senin, Jakarta Pusat. Kemudian saya ke TMII, sampai sekarang membantu di anjungan,” ujar Yafet yang tinggal di daerah Bekasi, Jawa Barat.
Untuk melestarikan khazanah budaya Asmat, Yafet memanfaatkan fasilitas yang berada di sebelah kiri halaman Anjungan Papua Barat TMII.