“Kita tidak bisa sembarangan. Nanti bisa melawahang,” sambungnya. Para pembuat bata hanya diam. Mereka tiba-tiba takut mendengar kata-kata Puq Banguq.
“Sebaiknya cepat ditimbun supaya tidak melawahang.” Laki-laki pincang meyakinkan. “Kita tidak bisa asal timbun. Harus kita tahu siapa punya kepala ini, lalu kita beritahu keluarganya.”
Puq Banguq menatap laki-laki pincang di depannya yang bersiap-siap menyanggahnya.
“Apa yang harus kita lakukan sekarang?” tanya salah seorang pembuat bata. Tangannya yang memegang gagang cangkul bergetar. Dialah yang mengenai tengkorak itu dengan cangkulnya tadi. Dan ia sangat takut. Firasatnya mengatakan sesuatu yang buruk akan menimpa dirinya dan keluarganya.
“Kita apakan tengkorak ini sekarang?” tanyanya lagi setelah pertanyaannya tidak ditanggapi.
“Angkat!” perintah Puq Banguq.
Tidak ada yang berani melakukannya.
“Angkat!” perintahnya lagi.
Tetap tidak ada yang bergerak.
“Angkat!” Suara Puq Banguq meninggi.
“Epe yang angkat kalau berani. Kan epe yang tidak kasih kita timbun,” kata laki-laki pincang dengan nada mencemooh.
Puq Banguq bersiap turun. Tetapi yang sedang memegang cangkul mencegahnya.
“Jangan.” Suaranya bergetar.
“Jangan dulu! Kita putuskan dulu kita bawa ke mana setelah kita angkat,” katanya.
Laki-laki pincang menatap tengkorak itu lama-lama. Tanah-tanah masih menempel di sana-sini. Dua lubang besar yang terisi tanah hitam membangkitkan sesuatu yang lain dalam dirinya.
Sesuatu yang sedikit ia takuti. Ia membayangkan akan membuat mainan dari tengkorak itu, dan ia telah memiliki bayangan yang rinci akan melakukan apa saja dengan tengkorak itu.
Ia terus menikmati imajinasinya walaupun sesekali ia tersadar dan merasakan ketakutan akan mendapat akibat buruk karena keberaniannya.