Batan Siap Wujudkan Pengembangan Radioisotop di Indonesia

Redaktur: Satmoko Budi Santoso

Ia menyampaikan saat ini harga Iodium 131 impor sekitar Rp 10-Rp15 juta per radiasi. Sementara, jika sudah bisa diproduksi di dalam negeri, harganya bisa menjadi setengahnya.

Untuk mewujudkan target ini, Rohadi menyebutkan ada beberapa kendala yang harus diselesaikan.

“Yang pertama itu adalah masalah SDM. Saat ini, banyak peneliti yang sudah mendekati masa purnabakti. Jika tidak diantisipasi, maka ada potensi penelitian akan terhenti untuk rentang waktu tertentu. Dan ini akan menyebabkan perlambatan dalam proses penelitian dan pengembangan,” urai Rohadi.

Kendala lainnya adalah masalah pembiayaan, hilirisasi produk, kantong ilmu nuklir dan pengaplikasian kedokteran nuklir.

“Tak bisa dipungkiri bahwa dalam mengaplikasikan teknologi nuklir dalam masyarakat, membutuhkan suatu sistem inovasi nasional. Yang mempertimbangkan aspek regulasi, keekonomian dan komunikasi,” ucapnya.

Ia menjelaskan, jika Batan berhasil mengeluarkan produk tapi proses pemasarannya tidak berhasil maka itu akan jadi masalah lagi. Dan pemasaran akan berhasil jika masyarakat siap dan operator penggunanya juga siap.

“Kedokteran nuklir itu harus disosialisasikan ke masyarakat dan juga ke rumah sakit. Selain itu, penyebaran penelitian nuklir di institusi lain, selain Batan, juga akan membantu proses penerimaan masyarakat pada produk radiofarmaka,” tandasnya.

Institusi pendidikan Kedokteran Nuklir juga harus mulai dikembangkan di universitas lain, selain RS Hasan Sadikin Bandung. Sehingga akan semakin banyak, tenaga medis yang mengerti manfaat dari radiofarmaka dalam dunia kesehatan.

“Kalau di luar negeri, penggunaan fasilitas kedokteran nuklir untuk diagnosa sudah menjadi hal biasa. Sehingga, kalau di Indonesia belum menjadi kebiasaan, artinya ada dua hal. Tim medisnya tidak memahami manfaat kedokteran nuklir dalam diagnosa atau belum ada tenaga medis terkait dalam pelayanan kesehatan tersebut,” pungkasnya.

Lihat juga...