Menurut dia, penggunaan benda tajam untuk melukai langsung target korban berbeda dengan pola yang digunakan oleh kelompok jihadis sebelumnya, khususnya Jamaah Islamiyah (JI).
JI lebih dikenal dengan aksi teror yang berimbas kerusakan atau korban yang besar, seperti bom Bali pada 2002 atau bom Hotel JW Marriot pada 2003.
Anggota JI, menurut dia, memiliki karakteristik terlatih. Mereka mendapatkan pelatihan paramiliter di Afghanistan atau Mindanao, Philipina.
Sementara banyak teroris yang bekalangan ini terafiliasi ke JAD yang pro ISIS tidak terlatih secara kemiliteran. Aksi teror mereka tidak tertata. Pelakunya justru lebih banyak yang meninggal dibanding korban yang ingin diciptakan.
“Kelompok-kelompok yang belakangan beraksi di sini hanya orang-orang yang terasuki oleh virus jihadisme. Pokoknya yang penting mati, bahkan korbannya siapa tidak jelas pun enggak apa-apa,” kata Najib. (Ant)