YOGYAKARTA – Kepala Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian (PSKP) Universitas Gadjah Mada, Najib Azca, menilai anggapan rekayasa atau pengalihan isu terhadap aksi teror SA alias Abu Rara terhadap Menkopolhukam, Wiranto, muncul akibat adanya stigmatisasi politik Pemilu 2019 yang masih membekas.
“Saya kira ini adalah refleksi publik kita yang masih terbelah. Publik yang masih distortif dan keruh oleh stigmatisasi politik warisan Pemilu 2019,” kata Najib, di Yogyakarta, Senin (14/10/2019).
Meski berbagai kemungkinan bisa saja terjadi, menurut Najib, anggapan rekayasa itu sangat berlebihan. Ia meyakini aksi yang dilakukan oleh Abu Rara terhadap Menkopolhukam merupakan pola serangan yang digunakan oleh teroris yang terafiliasi Jemaah Ansorut Daulah (JAD).
“Saya dengar darah yang keluar sampai 3,5 liter dari Pak Wiranto kena ususnya. Jadi, saya kira ini tidak main-main, masak mau settingan untuk dirinya sendiri? Tidak mungkin,” kata dia.
Najib mengakui, hingga saat ini sebagian masyarakat masih belum bisa berpaling dari sentimen Pemilu 2019. Akibatnya, berbagai hal atau peristiwa yang terjadi dan berkaitan dengan pemerintah akan dipandang sebagai rekayasa atau konspirasi.
Menurut dia, terlalu berlebihan jika setiap orang kemudian buru-buru melabeli berbagai peristiwa yang terjadi sebagai konspirasi atau settingan. Pasalnya, setiap orang dapat melontarkan anggapan itu, bahkan tanpa didasari alasan apa pun.
“Belum move on dari Pilpres 2019. Jadi, pembacaannya masih sekenario-sekenario konspiratif,” kata dia.
Najib menilai, aksi teror yang dilakukan Abu Rara itu menunjukkan, bahwa daya destruksi atau daya rusak para teroris di Indonesia mulai menurun.