Memaknai Persahabatan Dengan Saling Pukul di Ritual “Wihi Loe Unur”

Editor: Mahadeva

MAUMERE – Di ritual adat Wihi Loe Unur, yang berlangsung di Dusun Warut, Desa Watudiran, Kecamatan Waigete, Kabupaten Sikka, NTT, setelah petugas penyembelih hewan usai melaksanakan tugasnya, terjadi aksi saling pukul antara para lelaki yang hadir di tengah tempat ritual.

Ambrosius Ambon, warga Dusun Warut usai mengikuti ritual adat Wihi Loe Unur, Minggu (1/9/2019) – Foto : Ebed de Rosary

“Dalam setiap ritual adat, biasanya usai seekor hewan disembelih setiap lelaki yang hadir terlibat baku pukul. Dulunya aksi saling pukul ini menggunakan parang atau kayu berbagai ukuran,” ungkap Ambrosius Ambon, Warga Desa Watudiran, Minggu (1/9/2019).

Bagi warga etnis Tana Ai, dulunya saat ritual adat termasuk Gren Mahe ada aksi saling uji kekebalan. Setiap orang, akan saling tebas menggunakan parang, tetapi tidak ada yang terluka apalagi meninggal dunia. “Tapi seiring perkembangan jaman, saat ini sudah tidak ada lagi aksi seperti itu. Aksi diganti dengan aksi saling pukul menggunakan tangan kosong di bagian pungggung,” tutur lelaki yang akrab disapa Ambon tersebut.

Aksi saling pukul tersebut melambangkan kegembiraan, kebersamaan dan persaudaraan. Makanya, meski saling memukul, tidak ada yang marah bahkan dendam. “Biasanya sambil memukul diiringi juga dengan teriakan-teriakan sebagai ungkapan kegembiraan. Dalam aksi ini hanya kaum lelaki dewasa saja yang diperbolehkan,” jelasnya.

Philipus Pili, warga etnis Tana Ai lainnya menyebut, aksi saling pukul tersebut sebagai ungkapan kegembiraan, karena hewan kurban berhasil disembelih dengan sempurna. Penyembelihan dilakukan dengan sekali tebas, dan leher hewan harus putus dengan sekali tebas menggunakan parang.

Lihat juga...