Jelang Ramadan, Gali Potensi Tradisi Hidupkan Wisata Lokal

YOGYAKARTA – Kekayaan budaya dan tradisi menjelang Ramadan yang sampai saat ini masih terus bertahan di tengah gerusan kemajuan zaman tidak boleh disepelekan begitu saja, tetapi justru perlu terus digali sebagai sebuah potensi kekuatan wisata yang menarik.

Seperti di Kota Yogyakarta, masyarakat di beberapa wilayah masih mempertahankan adat, budaya dan tradisi yang rutin digelar sebelum memasuki bulan puasa, seperti ruwahan yaitu mendoakan orang yang telah meninggal dunia. Terkadang, warga juga membawa beraneka rupa makanan yang memiliki makna filosofis tertentu.

Salah satu makanan yang kerap muncul menjelang Ramadan adalah apem. Warga pun mengenal tradisi membuat kue apem sebagai “apeman”.

Selain memasak apem secara bersama-sama dalam jumlah banyak, apem kemudian diarak atau dibagikan ke warga yang lain. Bagi masyarakat Jawa, tradisi tersebut memiliki makna untuk saling memaafkan karena apem menjadi simbol maaf.

Salah satu kampung yang rutin menggelar tradisi “apeman” adalah Kampung Sosromenduran. Tradisi tersebut biasanya dilakukan satu pekan sebelum memasuki bulan Ramadan. Warga kampung bersama-sama membuat kue apem di sepanjang Jalan Sosromenduran.

Ribuan apem tersebut kemudian dinikmati oleh masyarakat maupun wisatawan, bahkan apem juga diarak keliling kampung. Kebetulan, lokasi Kampung Sosromenduran tidak berada terlalu jauh dari Jalan Malioboro yang menjadi jantung wisata di Kota Yogyakarta.

Selain di Soromenduran, tradisi “apeman” juga digelar di Kampung Tahunan. Warga bahkan menyiapkan dan mengemas acara tersebut secara khusus.

Sekitar 1.500 apem yang dimasak oleh warga diarak keliling kampung. Warga yang mengarak pun berdandan khusus dengan mengenakan pakaian tradisional khas Yogyakarta, bahkan pembawa gunungan apem mengenakan kostum layaknya prajurit.

Lihat juga...