Fanfare, Menghidupkan Kembali Seni Budaya Lamaholot

Editor: Mahadeva

“Musik Fanfare menurut catatan sudah masuk sejak 1885 di Larantuka. Tradisi musik tiup ini sudah ada sejak lama dan sempat vakum hampir 30 tahun. Dihidupkan kembali di 2004,” tuturnya.

Sebagai sebuah kesenian, kelompok tersebut akan terus hidup, terus berkembang sesuai jamannya. Harus terus berkolaborasi dan menggali seni budaya lokal untuk ditampilkan. Sanggar Fanfare menjadi wadah bagi anak-anak muda untuk berkresi. Wadah tranformasi seni budaya dari generasi tua ke generasi muda.

Vikjen Keuskupan Maumere, Romo Telesforus Jenti O.Carm, mengaku tertarik dengan kisah Tonu Wujo yang dibawakan Fanfare. Ceritera rakyat tersebut, hampir sama dengan apa yang ada di masyarakat Kabupaten Sikka.

Sebuah kepercayaan yang hidup dalam masyarakat tradisonal yang percaya adat budaya. “Lakon ini berceritera tentang seorang perempuan yang memberikan kehidupan bagi umat manusia. Dalam kitab suci Alkitab juga dikisahkan mengenai gandum. Padi dan gandum itu sumber segala kehidupan,” tuturnya.

Masyarakat Sikka dan Lamaholot, sejak dulu memiliki hubungan yang sangat erat. Hubungan keduanya ibarat kakak dan adik. Bahkan wilayah Kabupaten Sikka dulunya merupakan wilayah kerajaan Larantuka. “Pementasan teater Ini Pare tidak bedanya dengan ‘na du’a naruk pare’ dalam  masyarakat Sikka. Mistosnya  juga sama berkisah tentang seorang ibu  yang memberikan kehidupan lewat padi,” pungkasnya.

Lihat juga...