Fanfare, Menghidupkan Kembali Seni Budaya Lamaholot
Editor: Mahadeva
MAUMERE – Pentas Musik, tari dan teater, yang membawakan ceritera rakyat Tonu Wujo, mampu menghipnotis ratusan peserta yang hadir di Sikka Convention Center (SCC).
Bagi masyarakat Flores Timur yang merupakan etnis Lamaholot, kehadiran sanggar seni budaya Fanfare, menghidupkan kembali seni budaya leluhurnya. “Tonu Wujo pernah dipentaskan di kota Kupang tahun kemarin, dan kali ini kami pentaskan di Maumere. Semua baik pemain, pemusik dan penari, totalnya sekitar 60 orang,” sebut Silvester Petara Hurit, penulis naskah sekaligus sutradara pementasan teater kisah Tonu Wujo, Minggu (26/5/2019).
Tonu Wujo merupakan ceritera rakyat etnis Lamaholot, tentang seorang perempuan bernama Jedo Pare Tonu Wujo. Perempuan yang mengorbankan nyawanya sehingga lahirlah padi (taha), jagung (wata), labu (besi) dan jewawut (weteng). “Mitos dan ceritera-ceritera rakyat seperti ini coba kami gali kembali dan pentaskan. Ternyata respon penonton sangat luar biasa. Ini kami laukan agar ceritera-ceritera rakyat dan budaya Lamaolot tetap lestari,” tuturnya.
Seniman muda Lamaholot ini menyebut, memang awalnya sulit untuk melatih para pemain. Ini terjadi karena para pemain rata-rata hidup di kota. Sementara kisah Tonu Wujo sendiri kulturnya kultur berladang. Selain itu, pemainnya bukan orang teater. “Kita melatih mereka dari nol, dan pemainnya juga dari berbagai latar belakang profesi dan agama. Tetapi semuanya bisa berjalan dengan baik dan semuanya saling mendukung,” ungkapnya.
Fanfare dulu identik dengan grup musik tiup, yang diperkaya dengan tari dan teater. Semuanya digabungkan, musik modern, tradisional, tari, lagu dan teater. Rata-rata pemain musik tiup merupakan orang-orang tua, sehingga hal itu menjadi transformasi seni budaya.