Menimbang Solusi Meninggalnya Petugas KPPS
JAKARTA – Haruskah penyelenggaraan serentak antara pemilihan umum anggota legislatif (pileg) dan Pemilu Presiden/Wakil Presiden (Pilpres) RI dilanjutkan untuk Pemilu 2024?
Pertanyaan itu mencuat, setelah Pileg dan Pilpres 2019 secara serentak yang berlangsung 17 April lalu mengakibatkan lebih dari seratus petugas kelompok penyelenggara pemungutan suara (KPPS) meninggal dunia, baik saat maupun setelah bertugas.
Dalam sejarah pemilu di Tanah Air, angka itu jelas yang tertinggi, sehingga menjadi fenomenal. Demokrasi, sistem terbaik dan paling damai dalam mengantarkan transisi atau kontinuitas terbatas kekuasaan tanpa pertumpahan darah, jelas tak menghendaki fenomena tragis itu.
Tak berlebihan, jika Presiden RI, Joko Widodo, yang juga petahana dalam Pilpres 2019, menyatakan dukacita mendalam dan memberikan predikat pahlawan demokrasi bagi mereka yang meninggal akibat jerih payah mereka menunaikan kerja untuk demokrasi itu.
Tentu, pemangku kepentingan demokrasi di Indonesia, baik elite politik, pakar politik, aktivis demokrasi, maupun warga yang peduli nasib bangsa, perlu mengevaluasi kembali pelaksanaan pemilu serentak yang mengakibatkan kematian dalam jumlah yang fenomenal itu.
Terlepas dari perkara takdir yang berada di luar kapastitas manusia, faktor utama penyebab kematian petugas KPPS itu tak lain dan tak bukan adalah kelelahan petugas. Meninggal akibat kelelahan, bagi pakar di dunia medis agaknya dengan mudah dicarikan penjelasan ilmiahnya, sekaligus solusi untuk mencegah kejadian serupa di kemudian hari.
Pemilu serentak yang memaksa petugas KPPS bekerja di luar batas kemampuan rata-rata manusia, bahkan ada yang terus bertugas menghitung surat suara melebihi 24 jam, karena harus menghitung tuntas semua surat suara yang sudah tercobolos, agaknya bisa dicari penyelesaiannya.