Riwayat Pohon Sawo

CERPEN DODY WARDY MANALU

“Andai di adat suku kita bisa melarungkan jenazah, ingin sekali jenazah ibu besok pagi dilarung ke laut. Ibu ingin bertemu Badar,” bisik ibu masih pejamkan mata.

“Mengapa ibu selalu memikirkan Om Badar. Seharusnya dalam pikiran ibu adalah ayah,” teriakku emosi. Pertanyaan itu sudah lama membelit kepalaku sejak Om Badar menitipkan uang untuk ibu. Pun sejak ibu selalu menyuruhku mengantar makanan ke rumah Om Badar.

Ibu membuka mata, mengusap kepalaku meski tangannya lebih sering memukulku tanpa sengaja.

“Hanya dua orang laki-laki di hati ibu. Kamu dan….”

Perkataan ibu terhenti.

“Apa laki-laki satu lagi adalah ayah?”

Ibu menatapku cukup lama.

“Ibu sangat bahagia ketika keluarga Mahondo, keluarga kakek-nenekmu datang melamar ibu. Hidup bahagia bersama laki-laki yang ibu cintai sebentar lagi akan terwujud. Ternyata ibu dilamar bukan untuk laki-laki yang ibu cintai. Tapi untuk kakak sulung dari laki-laki yang ibu cintai itu.

Di adat suku kita, keluarga akan ditimpa kesialan sepanjang hidup bila melangkahi anak sulung. Terpaksa menerima pernikahan itu. Orang tua ibu sudah lebih dulu menerima uang sebagai mahar. Uang itu telah habis membayar utang.”

Ibu meremas pakaiannya seakan ada gumpalan menyakitkan dalam dada.

“Apa laki-laki itu Om Badar?”

Ibu terdiam. Aku tidak bertanya lagi setelah melihat mata ibu. Tatapan mata tak bisa bohong. Itukah sebab mengapa ibu sangat senang bila aku bermalam di rumah Om Badar? Dan alasan Om Badar selalu mengirimi ibu uang membeli pupuk? Barangkali nenek tahu tentang hubungan mereka sehingga memusuhi ibu.

“Ibu bisa memaafkan nenekmu bila tak mengatai ibu perempuan mandul.”

Lihat juga...