Butuh beberapa menit buat ibu memasukkan sendok ke dalam mulut. Pun memakai baju dan celana sehabis mandi atau buang air.
Kehilangan Om Badar menjadi mimpi buruk yang tak pernah berakhir. Ibu betah duduk seharian di teras rumah hanya memandang pohon sawo kecil tumbuh di salah satu sudut halaman. Pohon sawo itu pengganti Om Badar. Terkadang, ibu mengajak pohon sawo kecil itu bercerita.
“Ranting, daun, akar dan kulitmu mengeluarkan aroma laut. Kadang aku mencium bau kepiting melekat di tubuhmu. Apa kamu kesepian di sana?”
Malam ini, ibu kembali berbincang dengan pohon sawo kecil itu.
“Om Badar tak ada di laut, Bu! Bila pun ia sudah meninggal, pasti ia ada di atas sana bersama malaikat,” ujarku menunjuk langit penuh bintang. Ibu menoleh padaku tengah duduk di sebelahnya. Ada seulas senyum di sudut bibirnya.
“Ibu ingin sekali melihat laut.”
“Ini sudah malam. Besok saja melihat lautnya.”
“Besok ibu sudah berubah menjadi pohon sawo.”
“Apa ibu akan mati seperti kakek dan nenek?”
Ibu mengangguk. Seketika ibu menjadi sosok asing di mataku.
“Jalan menuju kebebasan itu adalah kematian.”
Bagaimana mungkin ibu akan mati. Ibu masih sehat meski tangannya kejang-kejang. Buatku, manusia yang ingin mati adalah manusia paling idiot. Apa di liang lahat ada cokelat? Ada es krim? Ada film-film seru? Atau kafe yang selalu menyediakan makanan dan minuman enak? Kalau tidak ada, buat apa berlomba-lomba ingin mati?
Keinginan ibu tidak bisa dibendung. Terpaksa memapahnya ke pantai. Kami duduk di atas pasir membiarkan jemari kaki dijilati air laut. Ibu pejamkan mata beberapa saat, lalu menghirup aroma laut.
Tangannya dengan susah payah menyilang di dada. Air matanya menetes tanpa henti. Terlalu bodoh menangisi aroma laut.