Riwayat Pohon Sawo

CERPEN DODY WARDY MANALU

IBU sakit. Tangannya kejang-kejang tidak bisa diam. Untung kakinya tidak ikut kejang. Ibu bisa berjalan sendiri meski sempoyongan sehingga tak perlu memapahnya ke kamar mandi atau ke kamar tidur.

“Pohon-pohon sawo di depan rumah.”

Kalimat bernada sama selalu diucapkan ibu. Ada tiga batang pohon sawo tumbuh di halaman. Ketiga pohon itu ditanam di tahun berbeda sesuai hari kematian anggota keluarga kami. Satu orang anggota keluarga kami tak tahu di mana berada.

Ia hilang setahun lalu. Ayah bilang, ia pergi ke kota. Ibu tak percaya. Ibu menganggapnya sudah mati. Maka ibu menanam satu pohon sawo sebagai pengganti dirinya.

Pohon sawo pertama tumbuh di sudut halaman paling kanan. Ibu menanamnya sepuluh tahun silam setelah jenazah nenek dikuburkan. Pohon sawo itu sudah beberapa kali berbuah. Hanya sekali ibu mencicipi buahnya.

“Rasanya pahit serupa kata-kata nenekmu semasa hidup.”

Ibu menolak buah sawo yang kusodorkan. Hubungan ibu dengan mendiang nenek tak terjalin baik. Semua pekerjaan ibu tak ada benar di mata nenek. Ayah dan kakek tak pernah mencampuri masalah mereka.

Hanya Om Badar, adik ayah, sesekali memarahi nenek bila bicaranya sudah kelewatan. Semua itu aku tahu dari cerita ibu.

Pohon sawo kedua tumbuh di dekat pintu pagar. Ibu menanamnya tepat di hari kematian kakek satu tahun setelah kematian nenek. Pun pohon sawo itu sudah beberapa kali berbuah. Rasanya tak kalah manis dengan buah sawo yang tumbuh di sudut halaman.

Ibu sesekali makan buahnya. Namun tak pernah ia habiskan. Buahnya lebih banyak ibu lepehkan.

“Rasanya mengingatkan ibu pada kelakuan kakekmu semasa hidup. Selalu diam meski istrinya mencaci-makiku saban hari,” ujar ibu.

Lihat juga...