Mengenal ENSO, Si Pemicu Cuaca Ekstrem Indonesia
Editor: Makmun Hidayat
“Untuk menentukan yang terjadi El Nino atau La Nina kita menggunakan sebuah indek perhitungan suhu permukaan laut di wilayah indikator di Samudera Pasifik bagian tengah dan timur,” ucap Siswanto.
Dari indeks itu, lanjutnya, ENSO kemudian terbagi menjadi dua, yaitu ENSO hangat yaitu El Nino dan ENSO dingin yaitu La Nina. ENSO hangat menandai permukaan laut yang lebih hangat di Pasifik tengah atau timur, atmosfer di atasnya juga lebih hangat, konvektivitas udara dan pembentukan awan hujan menguat, hujan terkonsentrasi di Pasifik tengah dan timur, namun berdampak mengurangi curah hujan di Indonesia. Sebaliknya untuk La Nina.
Untuk mengenali gangguan atmosfernya, kopling laut – atmosfer ENSO diidentifikasi menggunakan nilai indeks osilasi Selatan (SOI). Darinya dikenali SOI positif yang merujuk pada La Nina dan SOI negatif yang merujuk pada El Nino. Indek ini dihitung dari beda tekanan antara Tahiti (di tengah Pasifik) dan Darwin (Australia).
“El Nino dan La Nina berdasarkan pola penyimpangan suhu muka lautnya, bisa dibagi menjadi ENSO biasa (konvensional) dan ENSO modoki. El Nino kuat 2015/16 adalah tipe modoki dimana pusat penghangatan laut ada di Pasifik tengah, ” papar Siswanto.
Sementara yang 1997/8 adalah El Nino konvensional, pusat panasnya ada di Pasifik Timur. Saat terjadi El Nino Modoki, efeknya pada musim kemarau akan semakin kering dan curah hujan yang lebih rendah dibanding saat normal.
ENSO sejatinya memiliki periode tiga hingga delapan tahun sekali tetapi dengan adanya perubahan iklim, frekuensi ini seringkali berubah.
Menurut data tahun 1998 fenomena El Nino tercatat pernah terjadi sebanyak 23 kali dengan rata-rata 4 tahun sekali dan La Nina terjadi sebanyak 15 kali dengan waktu terjadi rata-rata 6 tahun sekali