Reforma Agraria, Dorong Proses Perubahan Kebijakan
Editor: Satmoko Budi Santoso
Kedua, menjalankan reforma agraria sebagai landasan pembaruan dan pembangunan pedesaan yang dilandasi keadilan kepemilikan dan penguasaan tanah di pedesaan, sekaligus reforma agraria di perkotaan bagi masyarakat tak mampu.
Ketiga mendesak pemerintahan baru dalam hal ini Jokowi-JK untuk menuntaskan konflik agraria lama dan baru secara adil, beradab dan manusiawi, dan terakhir, mendesak presiden memulihkan hak-hak rakyat yang menjadi korban konflik agraria dengan memberikan amnesti, abolisi, rehabilitasi restitusi dan kompensasi kepada rakyat.
“Harapan pada akhirnya menguap, sekitar 5.000 petani kembali turun ke jalan menyerukan tuntutannya di depan istana negara yakni mengingatkan kembali janji lama pelaksanaan reforma agraria. Dan meminta presiden segera membentuk lembaga penyelesaian konflik agraria, yang kita sebut Unit Kerja Presiden untuk Penyelesaian Konflik Agraria (UKP2KA),” jelasnya, Kamis (3/1/2019).
Dewi katakan, letusan konflik agraria terus berlangsung dengan konflik lama tak kunjung disentuh, konflik baru terus bertambah. Catatan akhir tahun KPA pada tahun 2014 tercatat terjadi 472 kasus konflik, 2015 terjadi 252 kasus. 2016 terjadi 450 konflik, tahun 2017 terjadi 659 konflik agraria. Selama kurun waktu 4 tahun ribuan korban kekerasan dan kriminalisasi agraria terjadi.
Dan sepanjang tahun 2018 KPA mencatat sedikitnya telah terjadi 410 kejadian konflik agraria dengan luasan wilayah konflik mencapai 807.177,613 hektar dan melibatkan 87.568 KK di berbagai provinsi di Indonesia.
Dengan demikian, secara akumulatif sepanjang empat tahun (2015-2018) pemerintahan Jokowi-JK telah terjadi sedikitnya 1.769 letusan konflik agraria. Perpres No. 86 tentang Reforma Agraria yang ditandatangani pada 24 September 2018 lalu merupakan sebuah terobosan politik.