Meneropong Wajah Pelayanan Publik di Sumbar
PADANG – Konsep birokrasi pertama kali dikemukakan pada abad ke-17, oleh seorang fisiokrat dan pemikir ekonomi politik Vincent de Gournay, tepatnya pada 1745.
Kala itu, birokrasi didefinisikan sebagai pemerintahan yang dijalankan oleh pejabat dengan kekuasaan yang terlalu besar, sebagaimana dikutip dalam “Demokrasi dan Birokrasi Sebuah Dilema Politik” karya Eva Etzioni dan Halevy.
Sosiolog Max Weber, pun ikut membahas birokrasi dan menurut penilaiannya, birokrasi merupakan bentuk organisasi yang paling mampu mencapai tingkat rasionalitas dengan efektivitas yang maksimal.
Tetapi jika dalam pelaksanaan, birokrat memiliki kepentingan sendiri, maka apa yang dikemukakan Weber hanya akan ada dalam tataran teoritis semata. Sebab itu, saat ini publik kerap mendengar anekdot “kalau bisa dipersulit mengapa harus dipermudah?”, yang menunjukkan bagaimana persepsi publik terhadap birokrasi.
Bagi sejumlah orang, rumitnya berurusan dengan birokrasi dianggap sebagai takdir yang tak bisa diubah, dan yang bisa dilakukan hanya pasrah menunggu, karena tak bisa berbuat apa pun.
Tapi bagi sebagian yang lain, rumitnya urusan birokrasi membuat mereka mencari akal, agar hajatnya bisa lebih cepat tuntas dengan mengimingi petugas beragam hadiah, hingga uang sebagai balas jasa.
Tetapi ada juga publik yang menilai, berlarut-larutnya urusan birokrasi bisa diperbaiki dengan melaporkan kepada lembaga yang berkompeten, seperti Ombudsman.
Sejak hadir di Sumatra Barat pada 2012 sebagai lembaga negara yang mempunyai kewenangan mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik, Ombudsman terus berupaya mendorong hadirnya pelayanan berkualitas.