Wu’u Nuran, Pesta Syukur Panen Masyarakat Adat Balawelin

Editor: Koko Triarko

LARANTUKA – Dalam sebuah komunitas masyarakat adat, kebiasan bercocok tanam atau berladang merupakan sebuah keseharian hidup yang selalu dijalani dan memberikan kehidupan bagi komunitas masyarakat adat sejak zaman leluhur.
Bagi komunitas masyarakat adat Balawelin, kecamatan Solor Barat, kabupaten Flores Timur, pesta panen merupakan sebuah ritual adat yang selalu dilakukan, namun pesta adat ini disepakati dilaksanakan lima tahun sekali.
“Pesta Adat Wu’u Nuran merupakan sebuah pesta adat, pesta syukuran panen yang dilaksanakan oleh masyarakat adat atau Ribu Ratu suku Balawelin di Solor Barat,” sebut Urbanus Toran Werang, mantan Kepala Desa Balawelin, Minggu (25/11/2018).
Urbanus Toran Werang, mantan Kepala Desa Balawelin, Kecamatan Solor Barat, Kabupaten Flores Timur. -Foto: Ebed de Rosary
Urbanus yang merupakan anggota komunitas masyarakat adat Balawelin, menyebutkan, Wu’u atau Wuu’n Nuran dilaksanakan secara turun temurun, dan saat ini telah disepakati digelar lima tahun sekali.
“Secara suku Balawelin, disepakati untuk dilaksanakan lima tahun sekali. Kegiatan lima tahunan sekali ini bertujuan sebagai ajang  reuni keluarga dan suku-suku se-Balawelin, yang tersebar di mana-mana, termasuk di tanah rantau,” jelasnya.
Menurutnya, saat Wu’u Nuran digelar semua anak suku hadir dalam setiap ritual adat, baik di suku masing-masing, seperti Werang, Niron, Keban, Kein Hayon, dan lainnya. Juga hadir di ritual adat bersama serta misa syukur di Bukit Doa.
“Semua anak suku biasanya mengenakan kain tenun dan pakaian adat, baik laki-laki dan perempuan. Para ketua adat dari masing-masing suku mengenakan pakaian adat kebesarannya,” sebutnya.
Krispinus Niron, seorang tetua masyarakat adat Balawelin menjelaskan, Wu’u Nuran merupakan pesta syukur panen. Kata Wu’u berarti baru, dan Nuran ada yang menghubungkannya dengan kata Uran yang berarti hujan. Nuren yang artinya mimpi atau Wuran yang berarti buih.
“Kalau diartikan lurus, maka Wu’u Nuran berarti hujan baru, mimpi baru atau buih baru. Secara keseluruhan Wu’u Nuran bermakna sebagai perayaan atau pesta syukur atas hasil panen,” terangnya.
Dulu, biasanya sebelum pelaksanaan ritual adat Wu’u Nuran para tetua adat belum diperbolehkan makan makanan atau hasil panen yang baru seperti padi, jagung, singkong.
“Rangkaian ritual adat Wu’u Nuran ditandai dengan pembukaan kebun baru melalui ritual adat Peta Eta Poa Oa di setiap Lewo atau kampung, oleh para tuan tanah. Kegiatan Pesta Eta Poa Oa menghasilkan Eta, sebuah lokasi yang luas untuk bercocok tanam,” ujarnya.
Eta merupakan sebuah tempat atau lokasi yang luas, karena terdiri dari kebun induk  Nuke Leu milik tuan tanah, dan beberapa kebun Ribu Ratu atau masyarakat adat yang berada di sekeliling atau di sekitarnya.
Kegiatan ini bertujuan menyiapkan kebun baru sebagai tempat untuk menanam Besi Pare, atau tanaman palawija, seperti padi, jagung, ubi-ubian, sorgum serta kacang-kacangan.
“Tanaman ini yang menjadi konsumsi masyarakat  sepanjang tahun. Selain untuk makan, juga dijual dengan sistem barter atau membayar dengan uang. Masyarakat Balawelin juga selain bertani menjadi nelayan,” ungkapnya.
Saat ini, ritual adat Wu’u Nuran yang dilaksanakan lima tahun sekali bertujuan sebagai reuni keluarga dan suku-suku se-Balawelin, yang dimulai dengan ritual adat Porik Ria, di Kapela Bunda Maria Reinha Balawelin di kampung lama di perbukitan.
“Serangkaian ritual adat dimulai dengan ritual adat Peta Eta Poa Oa, dan diakhiri dengan Wu’u Nuran. Ritual adat yang digelar ini menanamkan nilai kebersamaan, gotong royong, saling menghormati dan menghargai, musyawarah serta saling tolong-menolong atau gemohing,” tuturnya.
Ritual adat Wu’u Nuran, tambah Krispianus, ingin mengajarkan nilai ketaatan terhadap norma atau hukum adat serta memupuk semangat persaudaran, persatuan antarsesama anak suku Balawelin.
Lihat juga...