Mendikbud Akui Keterlambatan Pembangunan Sekolah Darurat di Palu

Editor: Koko Triarko

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Muhadjir Effendy –Foto:  Jatmika H Kusmargana
YOGYAKARTA – Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Muhadjir Effendy, mengakui adanya keterlambatan proses pembangunan sekolah darurat di kawasan terdampak bencana di Palu dan Donggala, Sulawesi Tengah. 
Hal itu disebabkan tenda darurat yang dimiliki Kemendikbud sebagian besar telah didistribusikan ke NTB, saat terjadi bencana gempa bumi beberapa waktu lalu. Sehingga, stok tenda darurat yang dimiliki Kemendikbud pun sangat minim.
“Saya minta maaf (pembangunan sekolah darurat) tidak bisa secepat di NTB. Karena bencana terjadi secara beruntun, dan kita terlanjur fokus ke NTB,” ujarnya, saat menghadiri acara tingkat Menteri dan Pejabat setingkat eselon satu di bidang kebudayaan Negara-negara ASEAN dan Negara-negara Mitra Wicara ASEAN (AMCA) di Yogyakarta, Rabu (24/10/2018).
Kemendikbud mengaku, terus berusaha keras melengkapi kebutuhan tenda sekolah darurat, untuk wilayah terdampak bencana Palu dan Donggala. Salah satunya dengan memutuskan untuk membangun kelas darurat menggunakan bahan baku yang ada di sekitar lokasi bencana.
“Karena sebagian besar sudah terlanjur dikirim NTB, tenda kita tinggal 46 buah. Tapi, kita sudah mendapatkan bantuan dari UNICEF sebanyak 450 tenda. Saat ini sudah dikirim 200 dan sisanya menyusul. Mudah-mudahan dalam waktu dekat bisa selesai dikirim ke Palu seluruhnya,” katanya.
Kemendikbud sendiri, nantinya juga akan membantu biaya pemasangan sekolah darurat dengan alokasi dana sebesar Rp30 juta per sekolah darurat. Selain itu, sekolah juga akan dibantu peralatan, seperti terpal hingga alat kebutuhan belajar-mengajar.
“Sekolah darurat ini sebetulnya kan hanya untuk situasi sangat darurat. Artinya, hanya digunakan sekitar 1-2 bulan saja. Yakni, untuk tahap pemulihan trauma. Jadi masuk sekolah itu tidak diartikan ada pelajaran. Tapi, kita kumpulkan siswa dan guru yang ada untuk mengikuti kegiatan trauma konseling,” katanya.
Muhadjir menyebut, untuk pemulihan kondisi siswa, setidaknya dibutuhkan waktu sekitar satu bulan. Sementara kelas normal diperkirakan baru akan terjadi saat kelas sementara selesai dibangun, yakni pada masa 1-2 tahun pascabencana.
“Jadi, ada tiga tahap. Pertama pembangunan sekolah darurat untuk masa 1-2 bulan. Lalu sekolah sementara yang dibangun Kementerian PUPR untuk masa 1-2 tahun, dan dilanjutkan sekolah permanen,” jelasnya.
Kemendikbud mencatat, total ada 1.460 sekolah yang rusak dan membutuhkan pembangunan sekolah darurat di kawasan Palu dan Donggala, dan sekitarnya. Sementara untuk mencukupi kebutuhan tenaga konseling, pihaknya telah bekerja sama dengan sejumlah perguruan tinggi, termasuk Ikatan Guru Konseling Indonesia, guna dikirim ke Palu dan Donggala.
Lihat juga...