Mekarsari Kenalkan ‘Topiary’ Dalam Pot

Editor: Koko Triarko

JAKARTA – Bagi yang memiliki kecintaan pada tanaman, mungkin tidak akan asing dengan kata topiary. Yakni seni yang berkaitan dengan memangkas dan mengukir tanaman untuk membentuknya menjadi suatu bentuk tertentu.
Beberapa bentuk yang biasa dimunculkan adalah logo atau lambang perusahaan atau keluarga tertentu, bentuk bangun seperti kotak atau trapesium, binatang dan alfabet maupun angka.
Topiary berasal dari bahasa latin “topiarius”, yang memiliki arti pencipta tempat. Seni ini sudah dikenal sejak zaman Romawi. Dalam salah satu literatur, dikatakan bangsawan Romawi biasanya memiliki pembantu rumah tangga untuk menjaga topiary mereka. Bahkan, untuk desain yang lebih rumit, akan dipanggil tukang kebun profesional.
Di daratan Eropa, topiary berkembang luas pada zaman Renaissance. Istana-istana di Eropa hampir semua memiliki topiary di pekarangannya, yang ditata secara geometris. Salah satunya yang masih bisa dilihat saat ini adalah taman Istana Versailles di Perancis.
Staf Agro Taman Buah Mekarsari, Sodikin, yang memang memiliki ketertarikan tinggi pada topiary, menyatakan, bahwa topiary ini berbeda dengan bonsai.
“Topiary ini merupakan seni memangkas tanaman untuk menghasilkan suatu bentuk yang kita inginkan. Ini berbeda dengan bonsai. Karena kalau bonsai itu merupakan proses penghambatan tumbuh kembang tanaman untuk tetap kerdil di usia dewasa. Memang dilakukan pemotongan untuk membuat tanaman itu tetap kecil, tapi itu bukan termasuk topiary,” kata Sodikin, Kamis (25/10/2018).
Beberpa tanaman yang menurut Sodikin bagus untuk dijadikan objek topiary adalah kamboja, flamboyan, jenis palem-paleman, cemara dan yuka.
“Jenis tanaman ini sangat menawan, jika dijadikan objek topiary, karena baik masih muda atau pun beranjak tua, memiliki pesona arsitektural yang menawan. Tapi tanaman lainnya juga ada yang bisa, asalkan memiliki banyak cabang dan ranting berdaun kecil, lebat dan rapat. Contohnya, jenis beringin, mirten, jeruk kingkit, sianto, bougenvil, cemara, soka, kemuning dan gardenia,” papar Sodikin.
Sodikin menekankan, topiary ini membutuhkan sinar matahari yang cukup. Terutama sinar matahari pagi hingga pukul 11.00. Sehingga jika topiary ini untuk diletakkan di teras atau dalam rumah, perlu secara teratur dipindahkan ke lokasi yang mendapat paparan sinar matahari sepanjang pagi.
“Sinar matahari pagi yang cukup akan membuat topiary akan tumbuh subur, daunnya akan hijau mengkilat, rimbun dan jika jenis tanamannya berbunga, maka akan menjadi sering berbunga. Kalau tidak cukup terkena sinar matahari pagi, maka tanaman yang dijadikan topiary akan mengalami perlambatan pertumbuan dan bisa juga mematikan pucuk tanaman,” ucapnya.
Walaupun topiary identik dengan tanaman di lahan terbuka, saat ini Mekarsari mencoba memperkenalkan topiary di dalam pot. Ini karena mempertimbangkan tidak setiap masyarakat memiliki lahan yang cukup untuk mengembangkan minatnya pada topiary.
“Kalau dengan pot kan bisa dipindahkan ke mana saja. Dan, di Mekarsari akan dikembangkan tidak hanya untuk tanaman hias saja, tapi juga tanaman buah. Intinya, kami ingin memadukan teknik tabulampot, bonsai dan topiary,” jelas Sodikin.
Khusus untuk topiary dalam pot, Sodikin menegaskan agar menggunakan pot yang memiliki lubang pada dasarnya dalam jumlah cukup, untuk memastikan air yang masuk jika berlebih dapat mengalir sempurna keluar.
“Untuk topiary yang tidak terkena paparan sinar matahari sepanjang pagi, penyiraman cukup dilakukan sekali sehari saja. Dan, dipastikan juga agar pot diberi jarak dengan tanah dengan menggunakan batu atau ganjal lainnya, sehingga air dapat mengalir keluar,” ucapnya.
Untuk memastikan bentuknya dapat bertahan lama, dibutuhkan pemangkasan secara teratur, misalnya dua atau tiga bulan sekali.
“Selain pemangkasan, juga perlu dilakukan penggemburan media tanah dan pemupukan yang kandungan natrium dan kalium-nya lebih tinggi dibandingkan unsur phospor, untuk merangsang kesehatan akar dan daun. Dan menggunakan obat-obatan, jika diperlukan,” pungkas Sodikin.
Lihat juga...