Yayasan Harapan Kita : Kado Teristimewa Menuju Taman Mini Indonesia Indah
Serial Tulisan Memperingati Setengah Abad Yayasan Harapan Kita yang akan diperingati pada 23 Agustus 2018.

Kebanyakan insan, cenderung memberi kado istimewa berwujud material untuk kekasih atau buah hatinya yang tercinta. Bisa berwujud Roti Taart lezat, coklat berbentuk hati, perhiasan, mobil mewah, rumah mewah, hingga berbagai memorabilia (benda kenangan) indah lainnya. Tentunya, semua insan berupaya memberikan kado yang mengejutkan dan istimewa. Tapi, di sisi lain, ada juga yang ingin memberikan kado istimewa dalam bentuk yang immaterial dan intangible. Barangkali, kado yang immaterial, justru lebih bisa mengabadi, dan justru bermanfaat untuk khalayak luas hingga kapan pun. Kado istimewa yang immaterial tersebut, ternyata dipilih oleh Presiden Soeharto sebagai hadiah ulang tahun ke-45 bagi Ibu Siti Hartinah Soeharto, istrinya yang tercinta.
50 tahun lalu, tepatnya pada 23 Agustus 1968, Presiden Soeharto memberi kado kepada Ibu Tien, dengan menyetujui istrinya menghadap notaris Januar Hamid, S.H. di Jakarta, bersama sahabatnya Ibu Zaleha Ibnu Sutowo. Pada hari ulang tahun tersebut, Ibu Tien menandatangani akta yang telah disiapkan oleh sang notaris. Sebuah akta pendirian organisasi sosial berbentuk yayasan dengan nama yang dipilihnya sendiri, yakni Harapan Kita. Turut menjadi saksi dalam penadatanganan itu, dua orang pegawai kantor notaris, yakni Soekardjo dan Bambang Soelaksono.
Kado Immaterial dari Pak Harto untuk Ibu Tien, ternyata adalah Yayasan. Bukan baju mewah atau perhiasan mahal, melainkan sebentuk wadah amanah. Wadah yang kelak dijadikan tempat mewujudkan harapan demi harapan, impian demi impian, tentang bagaimana turut menyejahterakan bangsanya.
Jauh sebelum penandatanganan itu, Ibu Tien dan Zaleha Ibnu Sutowo telah berdiskusi panjang lebar tentang kepedulian dan impian masing-masing, tentang bagaimana kaum wanita dapat bahu membahu bersama kaum pria membangun negara dan bangsanya. Paradigma kaum perempuan dalam berbangsa dan bernegara ini, menarik perhatian siapa pun untuk berjuang mewujudkan cita-cita peradaban bangsa, tak terkecuali kaum wanita Indonesia.
Sebuah semangat emansipasi yang terasa istimewa pada zaman itu. Mengingat, kaum wanita pada masa itu belum banyak yang bergiat di ruang-ruang publik. Pun, mereka yang ditakdirkan menjadi isteri penguasa atau pejabat pemerintah, umumnya lebih memilih berkiprah di wilayah rumah tangga. Sedangkan bagi Ibu Tien, bergiat di ruang publik, bukan hal baru. Sejak remaja, meski terlahir dari keluarga Puri Mangkunegaran-Solo yang masih terhitung ketat mengatur kehidupan kaum wanita, dirinya telah aktif melibatkan diri dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Tercatat, pada masa pendudukan Jepang, ia terlibat dalam Barisan Puteri. Fujinkai. Ketika masa perang kemerdekaan, ia tergabung dalam Laskar Puteri Indonesia. Bersama pejuang wanita lainnya, Ibu Tien membangun dapur umum dan menjadi bagian dari Palang Merah Indonesia (PMI). Meskipun demikian, YHK menerapkan prinsip kemitraan yang setara antargender. Dalam pengertian, meski para pengurusnya merupakan kaum wanita, YHK tetap memberi tempat bagi kaum pria menjadi bagian dari organisasi tersebut. Bahkan, Pak Harto pun ditetapkan menjadi pelindung YHK.
Ibu Tien dan Ibu Zaleha menetapkan dengan jelas tujuan Yayasan Harapan Kita (YHK), yakni mempertinggi kesejahteraan rakyat Indonesia dalam arti seluas-luasnya. Tujuan ini diterjemahkan dalam tiga usaha yakni: (1) memberi bantuan baik moril maupun materiil kepada instansi dan lembaga yang tujuannya ialah meningkatkan kesejahteraan rakyat, (b) mendirikan bangunan-bangunan dan rumah-rumah yang dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat, dan (3) mengadakan usaha-usaha lain yang tidak bertentangan dengan anggaran dasar yayasan, peraturan-peraturan dan hukum negara yang berlaku.
Dalam momentum yang membahagiakan, pada Jumat, 17 Januari 1969, Gedung Kantor Yayasan Harapan Kita (YHK) diresmikan. Pak Harto sebagai pelindung menyempatkan hadir. Tak hanya Sang Presiden, sejumlah tamu penting juga menghadiri acara tersebut. Mereka hendak menjadi saksi sejarah dimulainya kiprah sebuah organisasi masyarakat yang dikelola oleh kaum wanita dengan gagasan-gagasan mulia tentang bagaimana memuliakan peradaban bangsanya.
***
Sekian waktu sesudah YHK didirikan, pada sebuah kesempatan, ketika Ibu Tien mendampingi Presiden berpidato dalam Sidang DPR Gotong Royong pada Januari 1970, Ibu Tien menyimak pidato yang disampaikan Pak Harto. Saat itu, Pak Harto menyampaikan, pembangunan yang hendak dilakukan oleh bangsa Indonesia, yaitu pembangunan yang menyeimbangkan kemajuan fisik dan material, keseimbangan mental dan spiritual.
Atas isi pidato tersebut, seketika terlintas dalam benak Ibu Tien, sebuah gagasan tentang wujud pembangunan yang dapat melengkapi kiprah suaminya dalam menyeimbangkan pembangunan bangsanya. Tak berapa lama, Ibu Tien menggelar rapat pengurus lengkap YHK pada 13 Maret 1970 di kediamannya, Jalan Cendana No. 8, Jakarta.
Dalam kesempatan itulah, Ibu Tien menyampaikan gagasan yang mengejutkan para peserta. Seperti dikenang kembali oleh puteri sulungnya Hj. Siti Hardiyanti Rukmana, Ibu Tien menyampaikan bahwa Indonesia merupakan negeri yang kaya dengan berbagai seni dan budaya serta beraneka ragam flora dan fauna. Namun demikian, negeri ini begitu luas. Lalu bagaimana generasi muda Indonesia dapat mengenali, mencintai, dan membanggakan bangsa dan tanah airnya? Tidak mungkin mereka menjelajahi satu persatu provinsi demi provinsi yang terbentang dari Sabang sampai Merauke. Itu terlalu mahal dan menghabiskan banyak waktu. Ibu Tien pun menyodorkan sebuah gagasan. “Kita perlu membangun mininatur Indonesia,” kata Ibu Tien.