KESABARAN Dul Komed habis. Mukanya semromong (panas menyengat) seperti bara api. Matanya mendelik mau keluar dari rumahnya. Kesalnya bukan main. Kata-kata kasar, makian, serapah meluncur deras dari mulutnya tanpa tedeng aling-aling (tanpa ada yang menghalangi).
Ludahnya dihunjamkan ke tanah seolah anak panah yang dilesakkan ksatria berkuda menembus tubuh ringkih pion.
“Dasar monyet sialan!”
Telunjuknya diacung-acungkan ke atas berkali-kali menunjuk pada beberapa ekor monyet yang berloncatan dari pohon kelapa satu ke pohon lainnya. Diambilnya batu sebesar bola kasti lalu dilemparkan ke arah salah satu monyet yang jaraknya paling dekat.
Siapa tahu bisa mengenai kepalanya atau tubuhnya. Biar kapok. Sayang lemparannya tak sampai. Yang lebih menjengkelkan, monyet itu malah nyengir dan menjulurkan lidah. Seperti mengejek Dul Komed.
“Kurang ajar. Aku bunuh kau nanti!”
Bagaimana tidak kesal, ini hari kelima hasil nderes (menyadap) nira kelapa baul alias tidak ada hasilnya. Dan selama itu pula ia tidak bisa nitis (mencetak gula kelapa) membuat gula kelapa. Monyet-monyet itu biang keroknya. Badeg (nira kelapa) yang sudah terkumpul sejak pagi dihabiskan oleh monyet-monyet yang berkeliaran di sekitar Kali Lutung.
Selain buat diminum, nira yang ada dalam pongkor (alat tradisional Banyumas seperti parang/bendo pendek berbentuk seperti tokoh wayang Bawor/Bagong yang menggembung bagian bawah dan mengecil bagian atas).disiramkan ke tubuhnya. Tidak tahu kenapa monyet itu suka mandi pakai nira.
Sore ini, Dul Komed benar-benar dibuat muntab (marah). Sudah 17 pohon kelapa ia panjat, hasilnya nihil. Juga pada pohon terakhir. Pongkor yang ia gantung di manggar hanya menyisakan beberapa tetes nira saja. Dan itu ulah monyet kurang ajar.