Perbedaan Perlakuan di UU MD3 Tidak Sesuai UUD
Editor: Mahadeva WS
“Hanya lima hal ini yang tidak bisa persetujuan tertulis presiden dan selainnya harus izin tertulis presiden. Hal ini sebut sebagai tambahan hak imunitas dan kalau bicara imunitas dalam kontrak tugas dan wewenang dalam melaksanakan tugas,” ungkapnya.
Pengujian Undang-undang No.2/2018 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-undang No.17/2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3) diajukan oleh sejumlah masyarakat yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil.
Pasal yang diujikan adalah Pasal 122 huruf k terkait dengan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD). Di dalamnya dinyatakan, MKD bertugas mengambil langkah hukum dan/atau langkah lain terhadap orang perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR.
Kedua, Pasal 73 terkait pemanggilan paksa. Dalam pasal ini disebutkan bahwa DPR dibolehkan memanggil paksa setiap orang dengan bantuan aparat kepolisian plus ada klausa dibolehkan untuk menyandera selama 30 hari. Pasal ini dapat dimaknai, seolah-olah DPR memosisikan diri sebagai aparat penegak hukum yang bisa dengan mudah memaksa dan menyandera masyarakat.
Ketiga, Pasal 245 terkait dengan pemanggilan dan permintaan keterangan terhadap anggota DPR sehubungan dengan terjadinya tindak pidana. Pasal ini seolah-olah membuat anggota DPR kebal hukum karena penyidikan terhadap anggota DPR harus melalui izin tertulis Presiden dan pertimbangan tertulis dari MKD.