Menjamin Masa Depan Anak Teroris
Machfud mengatakan orang tua mereka atau pelaku teror mengajari anaknya untuk menjawab “home schooling” (pendidikan dalam rumah) ketika ditanya masyarakat. Tidak disekolahkan mereka agar dapat didoktrin dengan video-video radikal dan tidak berinteraksi dengan masyarakat lain.
“Baik yang AIS dan di Sidoarjo itu tidak sekolah. Ini sama karena satu guru yang pengajiannya sama dalam satu minggu. Ada keterkaitan. Namun ada satu yang sekolah. Dia anak yang besar karena ikut neneknya. Kedua anak lain sering dicekoki film,” ujarnya.
Pada rentetan aksi teror di Surabaya dan Sidoarjo, anak-anak ikut menjadi pelaku. Namun sejatinya mereka tetaplah korban. Anak-anak yang belum mengetahui mana yang benar dan buruk dengan mudah dicecoki paham radikalisme oleh orang tuanya.
Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) menyatakan anak-anak yang dilibatkan pelaku teror pada serangkaian aksi teror di Surabaya dan Sidoarjo akhir-akhir ini adalah korban.
“Di dalam Undang-undang Perlindungan Anak, anak tidak bisa disalahkan. Mereka tidak bisa disebut sebagai pelaku. Anak adalah korban. Mereka korban dari lingkungan,” ujar Ketua LPAI Seto Mulyadi.
Dia mengatakan anak-anak tersebut perlu mendapatkan perlindungan ke depannya. Hal itu karena ada dua amanat Undang-undang Perlindungan Anak. Pertama adalah tidak melakukan kekerasan terhadap anak, dan yang kedua tidak menyuruh anak melakukan kekerasan. Pada kasus teror ini, poin kedua akan menjadi perhatian LPAI.
Negara juga didesak harus hadir untuk melakukan terapi psikologis dengan cara mengubah lingkungan anak-anak tersebut.
“Sesuatu yang negatif itu bisa bisa cepat dihilangkan, diganti dengan yang positif. Harus diciptakan lingkungan yang kondusif,” tuturnya.