INDEF: Kebijakan Impor Menurunkan Daya Beli Masyarakat

Editor: Irvan Syafari

Dijelaskan Enny, sektor perkebunan mengalami surplus US$ 26,7 miliar. Sedangkan neraca perdagangan tanaman pangan defisit US$ 6,23 miliar. Adapun hortikultural defisit di angka US$ 1,79 miliar, dan peternakan sebesar US$ 2,74 miliar.

“Impor bukan hal tabu di era perekonomian global. Tapi impor seharusnya mendorong produktivitas. Sayangnya tidak terjadi karena pertumbuhan ekonomi tak banyak bergerak,” tukas Enny.

Jadi semestinya, menurut dia, industri itu memberikan akselerasi pertumbuhan ekonomi. Tapi sebaliknya malah tidak banyak bergerak. Sehingga kondisi ini memperkuat temuan Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK), di mana ada indikasi penyimpangan dalam kebijakan impor.

“Kalau kita lihat ada titik temu dengan hasil temuan BPK dalam formulasi kebijakan impor penuh penyimpangan,” katanya.

Dia menambahkan, bahwa masalah impor ini tidak lepas dari kontroversi soal data pangan. Yakni, satu sisi Kementerian Pertanian (Kementan) yang bertanggungjawab masalah produksi mengklaim produksi cukup. Sehingga tidak ada upaya untuk mengejar ketersediaan pangan yang maksimal.

Selain itu, lanjut dia, Kementerian Perdagangan (Kemendag) juga bertanggung jawab terkait soal distribusi harga pangan yang terus melambung tinggi.

“Soal data penetapan kebijakan impor ini akhirnya menimbulkan polemik yang menjadi persoalan politis,” tukas Enny.

Lihat juga...