Akademisi: Larangan Napi jadi Caleg tak Bisa Digeneralisasi

Ilustrasi -Dok: CDN

SEMARANG – Ketua Program Magister Ilmu Politik FISIP Universitas Diponegoro Semarang, Teguh Yuwono, menyatakan larangan narapidana menjadi calon legislator tidak boleh menggeneralisasi mereka atau menganggap sama semua napi.

“Tidak boleh dan tidak bisa di-‘gebyah uyah’ (digeneralisasi) terhadap semua napi,” kata Teguh Yuwono, di Semarang, ketika merespons boleh atau tidak napi menjadi caleg, Kamis (5/4/2018).

Teguh mempertanyakan, makna lembaga pemasyarakatan kalau napi karena kasus ringan, kemudian pernah menjalani hukuman, lantas kehilangan hak dan kewajiban politiknya, yakni dipilih dan memilih.

Alumnus Flinders University Australia itu menegaskan, bahwa napi adalah warga negara yang punya hak universal suffrage (hak pilih universal), kecuali hak itu dicabut oleh pengadilan.

“Yang dilarang harusnya napi koruptor dan napi kriminal berat dengan ancaman hukuman di atas 5 tahun,” katanya.

Dengan demikian, menurut Teguh, tidak bisa hak memilih dan dipilih napi dicabut semua. Itu melanggar teori universal suffrage dalam pemilihan umum (pemilu) dan demokrasi.

Dalam teori politik, lanjut dia, tidak dikenal criminal democracy (demokrasi kriminal) karena istilah ini diinggriskan saja. Pasalnya, demokrasi itu positif, tidak bisa digabungkan dengan istilah negatif.

“Itu contradictio in terminis (istilah yang kontradiktif) namanya,” kata Teguh.

Ia menganalogikan, seseorang yang baru berumur 20 tahun menabrak orang di tol, kemudian yang bersangkutan dipenjara. “Karena dia jadi napi, apakah harus dicabut hak memilih dan dipilihnya?” tanyanya.

Jadi, lanjutnya, harus dipilah-pilah napinya. Makanya, hakim tidak pernah menvonis semua napi dengan cabut hak memilih dan dipilih. “Yang dicabut, ya, napi-napi tertentu saja,” kata Teguh. (Ant)

Lihat juga...