Masyarakat Tionghoa di Ambon Sambut Imlek 2569

Ilustrasi. Barongsai. Foto: Dokumentasi CDN

Anggapan Imlek bahwa perayaan agama Budha oleh sebagian besar orang khususnya di Indonesia, lanjutnya, didasari oleh kurangnya imformasi yang benar dan telah melekat stigma dan sikap penyamarannya bahwa warga keturunan Tionghoa pastilah beragama Buddha atau Konghucu dan agama Buddha adalah khusus etnis Tionghoa.

“Sehingga ketika umat Buddha Indonesia yang sebagian besar berlatar belakang keturunan etnis Tioanghoa merayakan tradisi ini, orang lalu beranggapan bahwa Imlek adalah hari raya agama Buddha, padahal anggapan tersebut tidak benar,” tegasnya.

Wilhelmus menjelaskan, untuk dapat memahami Imlek bahwa suatu perayaan tradisi suku bangsa Tionghoa dalam menyambut musim semi atau musim dingin yang dalam perkembangannya ditetapkan sebagai hari pergantian tahun dengan demikian Imlek berawal dari sebuah tradisi menyambut musim semi dan tidak ada kaitan sama sekali dengan perayaan keagamaan mana pun.

Karena itu, imlek semestinya dapat dirayakan secara lintas agama khususnya bagi mereka berlatar belakang keturunan Tionghoa.

“Atas dasar itu, saya berkeyakinan bahwa pemerintah Republik Indonesia dengan mempertimbangkan populasi serta eksistensi etnis Tionghoa di Indonesia, maka tahun Baru Imlek 2002, telah ditetapkan sebagai salah satu hari besar Nasional,” ujarnya.

Kendati demikian, kata dia, sangat disayangkan dalam kurun waktu 16 tahun pemerintah RI telah menetapkan tahun baru Imlek sebagai salah satu hari besar nasional, namun pertanyaannya, mengapa sampai saat ini masyarakat Indonesia pada umumnya masih belum memahami tentang Imlek secara benar.

“Timbul pertanyaan itu salah siapa? Jawabannya berpulang kepada masyarakat etnis Tionghoa sendiri. Sedangkan kami sendiri tidak memahami secara benar, sehingga terasa sangat susah kami sosialisasikan kepada orang lain,” kata Wilhelmus.

Lihat juga...