Ketua LSF: Kami Mendorong Masyarakat Punya Sensor Mandiri
Dengan paradigma yang baru sekarang, jika ada film yang memang perlu direvisi LSF mengkomunikasikan kepada pemilik film tersebut untuk selanjutnya mereka revisi sendiri, untuk dikelola sendiri oleh pemilik film tersebut.
LSF membuka dialog kepada para pemilik film untuk selanjutnya di diskusikan tentang arah film atau target film itu untuk di konsumsi kisaran usia penonton. Jika ada adegan-adegan yang tidak sesuai dalam artian tidak layak untuk dikonsumsi dengan kriteria usia yang dituju, terpaksa adegan tersebut dihilangkan atau dibuang.
“Sekarang kita membangun dialog dengan para pemilik film guna menghasilkan film yang bermutu dan berkualitas nantinya. Kalau dahulu film yang datang ke LSF langsung kita sensor dan kita potong yang tidak pas atau tidak sesuai atau tidak layak untuk ditampilkan. Namun sekarang tidak seperti itu,” katanya.
Yani menyampaikan berkembangnya teknologi informasi membuat banyak media, yang dapat menyajikan apapun dan kapanpun sehingga dapat di akses oleh siapapun. Ternyata banyak konten-konten film atau sejenis film tidak semuanya melalui proses sensor, maka LSF membudayakan gerakan dengan nama gerakan budaya sensor mandiri.
Harapan dengan adanya gerakan budaya sensor mandiri. Bagi pembuat film harus betul-betul mempertimbangkan film yang dibuat dan yang akan disebarkan atau dipublikasikan layak atau tidak.
LSF memang bertugas melakukan sensor dan mengklasifikasikan film, namun perlu sosialisasi budaya sensor mandiri, dikarenakan kesadaran masyarakat untuk memilah dan memilih film yang tepat peruntukannya.
Film yang klasifikasi untuk usia 17 tahun masih dapat dilihat anak di bawah umur ikut serta nonton, terkadang ada orangtua yang mengajak anaknya menonton film untuk orang dewasa yang jelas-jelas klasifikasinya bukan tontonan untuk semua umur.