AMMAN – Raja Jordania Abdullah mengungkapkan, keprihatinannya atas keputusan Washington untuk mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel. Abdullah menyebut, bahwa Yerusalem Timur harus menjadi ibu kota negara Palestina masa depan.
Dalam sambutannya saat melakukan pembicaraan dengan Wakil Presiden Amerika Serikat Mike Pence di Amman, raja tersebut mengatakan bahwa satu-satunya solusi untuk konflik Israel-Palestina adalah solusi dua negara. Jordania kehilangan Yerusalem Timur dan Tepi Barat pada Israel selama perang Arab-Israel 1967.
Pengakuan Amerika Serikat atas klaim Israel terhadap Yerusalem sebagai ibu kotanya mengingkari kebijakan luar negeri Amerika Serikat yang telah berlangsung selama beberapa dasawarsa. Kesepakatan yang menyebutkan bahwa status kota itu harus diputuskan dalam negosiasi antara Palestina dengan Israel.
Raja Abdullah mengatakan langkah Amerika Serikat akan memicu radikalisme dan mengobarkan ketegangan Muslim dan Kristen. “Bagi kami, Yerusalem adalah kunci bagi umat Islam dan Kristen, seperti juga Yahudi. Ini adalah kunci perdamaian di wilayah ini dan kunci untuk memungkinkan umat Islam untuk secara efektif melawan beberapa akar penyebab radikalisasi kami,” katanya.
Para pejabat Palestina dari kelompok Fatah maupun Hamas pada Sabtu (20/1/2018) menolak kunjungan yang akan dilakukan Wakil Presiden Amerika Serikat Mike Pence ke Timur Tengah. “Kunjungan Pence ke kawasan ini tidak bisa diterima karena dia adalah pendukung buta Israel,” kata juru bicara Fatah di Tepi Barat Osama Qawasmi.
Qawami menyerukan perlawanan massal di Tepi Barat, Jalur Gaza dan Yerusalem Timur terhadap pengakuan AS atas Yerusalem sebagai ibu kota Israel. Qawami mendesak negara-negara Arab agar tidak menerima kedatangan Pence sebagai balasan atas pengakuan AS soal Yerusalem itu serta karena keputusan AS untuk meghentikan bantuan keuangan kepada Badan Pekerjaan dan Pemulihan Perserikatan Bangsa-bangsa bagi Pengungsi Palestina (UNRWA).