Pedagang Keluhkan Sistem Pemasaran Sapi di NTT

KUPANG – Kepala Seksi Balai Karantina Pertanian (BKP) Kelas I Kupang, Yulius Umbu, menilai pola pemasaran sapi di Provinsi Nusa Tenggara Timur belum berjalan efektif dan efisien.

“Belum efektif dan efisien itu terkait dengan sistem dan tradisi yang dari dulu sampai sekarang masih belum banyak berubah”, katanya di Kupang, Rabu (5/7/2017).

Menurut Yulius, hal itu dikarenakan penerapan sejumlah kebijakan dari pemerintah daerah setempat yang diakuinya menjadi keluhan baik para pengusaha maupun peternak. Ia menyebut, kebijakan yang dimaksud seperti kepemilikan identitas kartu pengenal dan surat keterangan dari desa sebelum sapi-sapi dipasarkan.

Selain itu, lanjutnya, terkait pengurusan Surat Keterangan Kesehatan Hewan (SKKH) yang masih berganda dari tingkat kabupaten, provinsi hingga terakhir di Balai Karantina sebelum sapi-sapi diantarpulaukan.

“Sapi-sapi kita di NTT sebelum dipasarkan ke Jakarta dan Kalimantan harus memiliki tiga SKKH dulu baru bisa dikirim. Jadi, begitu luar biasanya urusan soal kesehatan ternak ini,” katanya.

Terutama ke Kalimantan, itu harus harus uji laboratorium darah sapi untuk mendapatkan SKKH harus dilakukan sampai 100 persen.

Terkait uji darah sapi itu, Yulius menyarankan agar pemerintah daerah selaku pemangku kebijakan bersama pemangku kepentingan mengkaji kembali regulasi, apakah memperbolehkan SKKH diterbitkan di kabupaten hingga provinsi ataukah prosedur tersebut dapat dipangkas.

Kalau di Balai Karantina, lanjutnya, uji darah sapi memang tetap dilakukan untuk menerbitkan SKKH sesuai perintah Undang-Uundan Nomor 16 Tentang Karantina. Menurutnya, dalam Surat keputusan Menteri Nomor 42 Tahun 1988, hanya menganjurkan ada surat keterangan asal sapi, sementara isinya bukanlah pemeriksaan secara individu sapi untuk penerbitan surat keterangan.

Lihat juga...