Kampung Ketandan, Kompleks Pemukiman Kaum Tionghoa Pertama di Yogyakarta

Mayoritas usaha yang digeluti di kawasan Ketandan saat ini adalah menjual perhiasan khususnya emas. Nampak toko-toko emas dengan bangunan bertingkat memanjang ke belakang, berdiri berderet di sepanjang jalan ataupun gang-gang.

“Memang saat ini hampir semua warga keturunan disini membuka toko emas. Padahal dulu toko emas hanya ada di sisi selatan saja. Karena banyak warga yang berjualan kebutuhan lain seperti sembako, jamu obat tradisional, asesoris rumah tangga,” ujar salah seorang warga Tionghoa asli Ketandan, Anton Hidayat.

Lelaki berumur 70 tahun ini lahir dan tumbuh besar di lingkungan kampung Ketandan. Ia tahu persis bagaimana perubahan kampung Ketandan selama beberapa dekade terakhir. Baik dari sisi ekonomi, budaya maupun sosial dan arsitektur bangunan.

Menurutnya, tidak semua orang di kampung Ketandan awalnya merupakan warga keturunan kaum Tionghoa. Banyak pula warga pribumi yang juga melakukan bisnis jual beli di kawasan Ketandan. Mereka bahkan memikiki toko yang tidak kalah besar dari warga Tionghoa. Meskipun saat ini tak sedikit dari mereka yang akhirnya menjual rumah dan toko mereka pada kaum Tionghoa.

Dari sisi arsitektur, sebagian bangunan di kampung Ketandan saat ini memang telah banyak mengalami perubahan drastis. Meskipun sejumlah bangunan kono dengan corak arsitektur perpaduan Eropa, China dan Jawa juga masih dapat ditemukan. Salah satu ciri rumah kuno warga Tionghoa adalah bentuk atap rumah yang melengkung. Berbeda dengan gaya atap rumah modern atau tradisional Jawa yang runcing simetris.

“Ciri rumah warga Tionghoa itu atapnya selalu melengkung seperti atap Klenteng. Di bagian depan biasanya berupa toko untuk jualan. Sementara di bagian belakang untuk tempat tinggal,” katanya.

Lihat juga...