KAMIS, 1 SEPTEMBER 2016
YOGYAKARTA — Peneliti Ekonomi Kerakyatan Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan Universitas Gajah Mada, Dumairy mengatakan, Undang Undang Pengampunan Pajak (Tax Amnesty/TA) telah berbelok dari niat awal Pemerintah yang hendak menarik dana warga Indonesia yang berada di luar negeri, dan terkesan telah menelikung rakyat.

TA adalah penghapusan pajak yang seharusnya terutang, tidak dikenai sanksi administrasi perpajakan dan sanksi pidana di bidang perpajakan dengan cara mengungkap harta dan membayar uang tebusan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016.
Sementara yang dimaksud dengan harta dalam UU Pengampunan Pajak Nomor 11 Tahun 2016 itu adalah akumulasi tambahan kemampuan ekonomis berupa seluruh kekayaan, baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, baik yang digunakan untuk usaha maupun bukan untuk usaha, yang berada di dalam dan/atau di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sedangkan uang tebusan adalah sejumlah uang yang dibayarkan ke Kas Negara untuk mendapatkan pengampunan pajak.
Dengan pengertian tersebut, Dumairy dalam paparannya tentang pengampunan pajak dalam seminar sosialisasi pengampunan pajak (tax amnesty) di Kantor Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM, Kamis (1/9/2016), mengatakan, setiap harta yang dimiliki berarti akan dikenai pajak. Padahal, harta kekayaan sebenarnya hanya perubahan bentuk dari uang ke bentuk harta seperti mobil atau rumah. Padahal, ketika masih berupa uang sudah dikenai pajak penghasilan atau pajak penjualan. Jika setelah berubah bentuk masih dikenai pajak harta, maka terjadi tumpang tindih penarikan pajak.
Hal demikian, hanya salah satu saja dari sekian pasal dalam UU Pengampunan Pajak yang dirasa merugikan masyarakat. Dumairy juga mengkritisi tujuan dari UU Pengampunan Pajak yang menurut Pemerintah adalah mempercepat pertumbuhan ekonomi, restrukturisasi ekonomi melalui pengalihan harta yang antara lain akan berdampak peningkatan likuiditas domestik, perbaikan nilai tukar rupiah, penurunan suku bunga dan peningkatan investasi.
Dumairy mengatakan, sangat jauh sekali jika tujuan TA dikatakan untuk memperbaiki ekonomi. Pasalnya, saat ini negara sedang berada dalam kondisi defisit primer, yaitu suatu kondisi yang mengharuskan negara berutang untuk membayar utang. Dengan demikian, sebaiknya Pemerintah berterus terang saja jika TA ditujukan untuk membayar utang negara atau menolong APBN yang mengalami defisit.
Selain itu, Dumairy juga mempertanyakan wacana atau janji manis Pemerintah ketika hendak membuat UU Pengampunan Pajak, bahwa prioritas UU Pengampunan Pajak itu ditujukan untuk repatriasi atau menarik pulang uang atau harta milik warga negara Indonesia yang berada di luar negeri. Namun dalam kenyataannya, tidak ada satu pun klausula dalam UU Pengampunan Pajak yang menyatakan demikian, baik secara tersurat maupun tersirat. Maka dalam hal ini, telah ada penelikungan UU Pengampunan Pajak itu dari niat awal atau janji manis Pemerintah yang hendak melakukan repatriasi.
Akibat dari penelikungan itu, lanjut Dumairy, saat ini justru masyarakat yang berada di dalam negeri diuber-uber oleh Pemerintah untuk membayar uang tebusan guna mendapatkan pengampunan pajak. Sementara, masyarakat pun bingung dan takut untuk melaporkan harta kekayaannya, karena khawatir akan berurusan lebih panjang dan takut beban pajak yang lebih masif ke depannya.
Dumairy pun mempertanyakan, mengapa UU Pengampunan Pajak yang dibuat oleh Pemerintah bersama-sama dengan DPR itu bisa berbeda dengan niat awalnya untuk melakukan repatriasi. Apalagi, beredar kabar jika ternyata Draft UU Pengampunan Pajak itu bukan berasal dari Direktorat Jenderal Pajak RI, melainkan merupakan gagasan Bank Dunia (World Bank) bersama Kantor Staf Presiden (KSP) RI dan Kantor Wakil Presiden RI.
Karena itu, Dumairy menduga ada kepentingan asing melalui Bank Dunia dalam UU Pengampunan Pajak. Kepentingan itu, menurutnya, bisa saja agar Indonesia kembali berutang kepada Bank Dunia, karena selama ini Indonesia lebih cenderung bekerjasama dengan China.
Dengan berbagai pertimbangan tersebut, Dumairy mengusulkan, agar UU Pengampunan Pajak ditinjau lagi, yang saat ini pun telah ada 5 lembaga yang sudah mengajukan uji materi terhadap undang-undang tersebut. Pilihan lain adalah membatalkan berlakunya undang-undang tersebut atau merevisi beberapa pasal yang dirasa merugikan negara dan masyarakat.
[Koko Triarko]