Intimidasi Serta Usaha PKI Melumpuhkan TNI-Polri yang Selalu Gagal

SELASA, 19 JULI 2016

JAKARTA — Setiap Bangsa di dunia ini memiliki sejarah perjuangannya masing-masing baik dalam menghadapi musuh kolonialisme maupun melawan pemberontakan di dalam negeri. Dan Indonesia adalah salah satu Negara dan Bangsa yang melewati banyak sekali bagian-bagian penting perjuangan sejak merebut kemerdekaan hingga penumpasan gerakan-gerakan ekstrimis yang mencoba menjatuhkan pemerintahan yang sah sekaligus mengganti dasar negara yaitu Pancasila.

Pengangkatan Jenazah MayJend Sutoyo Siswomiharjo dari dalam sumur maut Lubang Buaya
Salah satu sejarah kelam Bangsa ini adalah Pemberontakan sekaligus Pengkhianatan serial dari PKI (Partai Komunis Indonesia) yang selalu menggunakan kedok atau tameng kepentingan rakyat dan pembelaan terhadap kepentingan rakyat kecil. Musuh terbesar PKI di Indonesia hingga saat ini hanya dua, yakni Ulama dan TNI-Polri (Tentara Nasional Indonesia-Kepolisian Negara Republik Indonesia).
Membahas bagaimana cara PKI dalam menghabisi kekuatan TNI yang adalah abdi negara terbilang cukup menyita waktu panjang bagi PKI. Sama halnya dengan maksud PKI untuk melumpuhkan kekuatan Polri yang merupakan abdi masyarakat dalam menjaga keamanan serta ketenteraman masyarakat sehari-hari. Melumpuhkan TNI-Polri bagi PKI sama halnya seperti menggali lubang sedalam mungkin untuk mencari air di padang gurun pasir yang tandus.
Berikut beberapa usaha PKI sejak 1946 hingga 1965 di Indonesia dalam upaya mereka melumpuhkan kekuatan abdi negara dan abdi masyarakat demi memuluskan rencana mereka untuk mengganti dasar negara Pancasila dengan ideologi Komunis sekaligus melakukan kudeta terhadap pemerintahan yang sah.

Pemberontakan PKI di Cirebon
(12 Februari 1946)
Dengan dalih untuk memeriahkan Konferensi Laskar Merah pada Januari 1946, pimpinan PKI (Partai Komunis Indonesia) Mr.Joesoeph dan Mr.Soeprapto mendatangkan kesatuan laskar merah dari Jawa tengah dan Jawa timur ke Cirebon sebanyak 3000 orang. Jumlah itu masih ditambah dengan kekuatan laskar merah Cirebon. Dengan berbekal pasukan tersebut PKI melakukan unjuk kekuatan. Mereka berbaris keliling kota sekaligus memancing insiden dengan TRI (Tentara Republik Indonesia) dan Polisi. Akhirnya pada tanggal 12 Februari 1946 Laskar Merah melucuti TRI, menguasai Kota, dan gedung Radio serta Pelabuhan. Hotel Ribbrinck mereka jadikan markas komando untuk merebut kekuasaan Pemerintah Daerah Cirebon.
Untuk mencegah pertumpahan darah antara sesama orang Indonesia, Pimpinan Divisi II/Sunan Gunung Jati mencoba menyelesaikan peristiwa ini secara musyawarah dengan pimpinan PKI dan meminta agar senjata TRI dikembalikan. Oleh karena pihak PKI menolak, maka dua hari kemudian yaitu pada tanggal 14 Februari 1946 TRI melancarkan serangan untuk merebut sekaligus menguasai kembali Kota Cirebon. Pos penjagaan PKI berhasil dilumpuhkan, berikut markas komando PKI di hotel Ribbrinck dapat dikuasai. Sebagian pasukan Laskar Merah menyerahkan diri dan sebagian lagi memilih melarikan diri untuk menghindari kejaran pasukan TRI. Setelah insiden ini, pimpinan PKI Mr.Joesoeph dan Mr.Soeprapto ditangkap, kemudian diajukan ke pengadilan Militer untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya.

Pengacauan Surakarta
(19 Agustus 1948)
Untuk “pemanasan” sekaligus pengalih perhatian akan rencana PKI melakukan pemberontakan di Madiun maka satu bulan sebelum pemberontakan Madiun dilaksanakan, PKI dengan sengaja menciptakan suasana kacau di kota Yogyakarta sebagai pusat pemerintahan RI kala itu. Terbunuhnya Kolonel Sutarto, Panglima Divisi IV/Panembahan Senopati oleh orang tak dikenal pada tanggal 2 Juli 1948 semakin memanaskan situasi. Dengan menyebarkan isu bahwa Kolonel Sutarto dibunuh oleh anggota pasukan Siliwangi, maka PKI berhasil menghasut sekaligus memecahbelah pasukan Siliwangi. Akibatnya terjadi penculikan, pembunuhan, dan bentrokan senjata dimana-mana.
Selain itu PKI junga ingin menimbulkan suasana tidak aman dan tidak tenteram dikalangan masyarakat. Malam hari pada 19 Agustus 1948 ketika berlangsung Pasar Malam Sriwedari dalam rangka ulang tahun Kemerdekaan RI, PKI membakar ruangan pameran dari Jawatan Pertambangan, namun api dapat dikendalikan sehingga tidak merembet ke tempat lain. Akibat kebakaran itu timbul suasana panik di kalangan pengunjung dengan korban sebanyak 22 orang menderita luka-luka. Peristiwa ini akhirnya dapat dikendalikan oleh aparat keamanan setempat.
Tragedi Kawedanan-Ngawen
(20 September 1948)
Pada tanggal 18 September 1948 Markas Kepolisian Distrik Ngawen (Blora) diserbu oleh pasukan PKI. 24 (Duapuluh empat) orang anggota Polisi ditahan dan 7 (tujuh) orang anggota Polisi yang masih muda dipisahkan, setelah sebelumnya ditelanjangi serta disekap di sebuah ruangan sempit di belakang Kawedanan Ngawen. Selama disekap tanpa busana, mereka diberi makan hanya satu kali, kemudian datang perintah dari pimpinan PKI Blora agar mereka dihukum mati.
Diorama kebiadaban PKI menyiksa tujuh Polisi Muda dalam peristiwa Kawedanan-Ngawen 1948
Tanggal 20 September 1948, tujuh orang pemuda anggota Polisi itu dikeluarkan dari dalam tahanan untuk kemudian dibawa ke suatu tempat terbuka dekat kaku (wc) di belakang Kawedanan. Dengan pengawalan ketat mereka disuruh duduk di tanah. Dua orang anggota PKI datang membawa dua batang bambu yang sudah diikat ujungnya. Acara penghukumanpun segera dimulai. Secara bergantian tahanan dipanggil dan disuruh berdiri. Dua batang bambu dipegang masing-masing ujungnya oleh dua orang anggota PKI kemudian dijepitkan ke leher anggota Polisi tersebut satu persatu.
Pasukan PKI bersorak-sorak ketika tawanan mengerang kesakitan dengan disaksikan para tawanan lainnya. Setelah tawanan mati akibat jepitan bambu, jenazahnya diangkat beramai-ramai untuk dimasukkan kedalam lubang kakus. Untuk meyakinkan bahwa para tawanan sudah mati didalam lubang kakus, maka tembakan salvo dilakukan juga kedalam lubang kakus.
Para pelaku peristiwa ini akhirnya ditengarai banyak yang tewas dalam baku tewas dalam Operasi penumpasan Pemberontakan PKI Madiun sejak tahun 1948.

Serangan Gerombolan PKI ke Asrama Polisi
(6 Agustus 1951)
Sesudah pengakuan kedaulatan, sisa-sisa kekuatan bersenjata PKI membentuk gerombolan-gerombolan bersenjata seperti gerombolan Sunari di Jawa timur, Merapi-Merbabu-Compleks di Jawa tengah, dan gerombolan Eteh di Jakarta dan sekitarnya. Untuk menimbulkan rasa tidak percaya rakyat terhadap pemerintah mereka menteror rakyat dengan cara perampokan, pembakaran, dan pembunuhan. Bahkan mereka tidak segan-segan melawan pejabat tinggi negara dan aparat keamanan.
Pada tanggal 6 Agustus 1951 pukul 19.00 WIB gerombolan Eteh dengan kekuatan puluhan orang bersenjata tajam dan senjata api serta memakai ikat kepala berlambang burung merpati dan palu arit menyerang asrama Brimob (Brigade Mobil) di Jalan Dempo Tanjung Priok Jakarta utara dengan tujuan merebut senjata. Peristiwa ini diawali dengan seorang anggota gerombolan beralasan menjenguk rekannya secara tiba-tiba menyerang anggota polisi di pos jaga asrama. 
Dua orang anggota polisi yang sedang bertugas jaga sama sekali tidak menduga datangnya serangan yang tiba-tiba itu sehingga mereka tidak sempat melakukan perlawanan. Kedua anggota polisi tersebut mengalami luka-luka parah yang serius. Bahkan seorang wanita penghuni asrama juga terlkuka parah akibat aksi gerombolan Eteh tersebut. Dalam serangan ini, gerombolan berhasil merampas 1 pucuk bren, 7 pucuk karaben mauser, serta 2 pistol.
Pengejaran terhadap Pelaku-pelaku akhirnya dilakukan oleh aparat keamanan namun belum ada data yang akurat mengenai berhasil atau tidaknya mereka ditangkap atau ditembak mati.
Peristiwa Bandar Betsi
(14 Mei 1965)
Untuk menggagalkan rencana pemerintah RI di bidang Land Reform, PKI dan organisasi massanya melancarkan aksi sepihak, yakni menguasai secara tidak sah tanah negara di beberapa tempat. Salah satu diantaranya adalah tanah milik Perusahaan Perkebunan Negara (PPN) Karet-IX, Bandar Betsi, Pematang Siantar.
Pada tanggal 14 Mei 1965, 200 orang anggota gabungan ormas-ormas PKI dari Barisan Tani Indonesia (BTI), Pemuda Rakyat (PR), dan Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) menanami secara liar tanah tersebut. Pembantu Letnan Dua (Pelda) Sujono seorang prajurit TNI-AD yang sedang bertugas manunggal bersama tiga rekannya untuk mengangkat sebuah traktor yang terperosok jatuh ke selokan mencoba untuk memperingati gerombolan tersebut untuk tidak menanami lahan yang sedang diolah negara itu. 
Alih-alih memperhatikan peringatan, gerombolan massa PKI malah menunjukkan sikap menantang petugas yang disusul dengan aksi pengeroyokan terhadap Pelda Sujono dan rekan-rekannya. Pertarungan berat sebelah antara empat orang melawan 200 orang kawanan PKI membuat Pelda Sujono menjadi bulan-bulanan hantaman benda tumpul sekaligus benda tajam yang memang sengaja dibawa kelompok tersebut untuk menghabisi nyawa petugas. Pelda Sujono akhirnya jatuh tersungkur ke tanah dan nyawanya langsung dihabisi anggota PKI dengan cara dicangkul berkali-kali.
Pelda Sujono yang akhirnya menjadi Peltu Sujono dimakamkan secara terhormat dalam sebuah acara Militer.
Peristiwa G30S/PKI (Gerakan 30 September/PKI)
(30 September 1965)
Merasa semua intimidasi sekaligus usaha mereka untuk melemahkan sekaligus memecahbelah TNI tidak berhasil, akhirnya PKI melancarkan sebuah serangan pengkhianatan ketiga setelah 1926 dan 1948. Kali ini pada malam tragedi G30S/PKI mereka menculik 7 (tujuh) Jenderal penting TNI-AD yang difitnah telah membentuk gerakan Dewan Jenderal untuk melakukan Kudeta terhadap pemerintahan Presiden Soekarno kala itu.
Enam Jenderal berikut Satu Perwira TNI-AD yang menjadi korban pembunuhan sadis PKI dalam rangka usahanya melakukan kudeta atas pemerintahan yang sah tersebut adalah : Jenderal Ahmad Yani, LetJend R.Soeprapto, LetJend MT.Haryono, LetJend S.Parman, MayJend DI.Pandjaitan, MayJend Sutoyo Siswomiharjo, dan Kapten Pierre Tendean.
Selain ketujuh Jenderal TNI-AD tersebut, pada malam tragedi G30S/PKI turut gugur AIP Karel Satsuitubun (KS.Tubun) seorang perwira Polisi yang bertugas jaga di rumah J.Leimena (tetangga Jenderal AH.Nasution) serta  BrigJend Katamso Darmokusumo yang kala itu sebagai Danrem 072/Yogyakarta dan Kolonel R.Sugiyono Mangunwiyoto sebagai Kasrem. 
AIP KS.Tubun tewas ditempat setelah tertembus peluru dalam baku tembak dengan anggota pasukan PKI yang sebenarnya bermaksud menculik Jenderal AH.Nasution (tetangga J.Leimena) namun Jenderal AH.Nasution akhirnya selamat setelah tergantikan oleh tindakan heroik ajudannya sendiri yakni Kapten Pierre Tendean. Sedangkan Brigjend Katamso dan Kolonel Sugiyono dibunuh oleh pasukan Yon L Kentungan yang sudah dipengaruhi oleh PKI dan dikubur hidup-hidup dalam satu lubang yang sama dalam peristiwa malam 30 September 1965 yang dikenal dengan Peristiwa Kentungan.
Namun akhirnya Peristiwa G30S/PKI dapat diredam berkat kesigapan Pangkostrad MayJend TNI Soeharto kala itu untuk segera mengerahkan prajurit-prajurit RP-KAD melakukan penyisiran lokasi Ibukota, merebut RRI (Radio Republik Indonesia), hingga melakukan operasi penumpasan di lokasi Lubang Buaya Jakarta timur.
Di era reformasi saat ini, muncul kembali gerakan-gerakan para abdi komunis yang masih menyimpan keinginan untuk mengganti Pancasila dengan ideologi komunis yang mereka agung-agungkan. Berbagai cara dan upaya mereka tempuh, yaitu melakukan pendekatan kepada masyarakat di pedesaan dengan iming-iming kesejahteraan yang lebih baik kedepannya, melakukan diskusi-diskusi bertema kerakyatan, melakukan acara-acara seni yang mengambil tema cukup ambigu, menempuh cara hukum memperjuangkan hak-hak para gerombolan tua komunis lewat aturan penegakan Hak Asasi Manusia secara hukum, bahkan sampai menggalang kekuatan ditingkat aparatur pemerintahan agar melakukan konsolidasi nasional dengan syarat mutlak Negara Republik Indonesia melalui Presiden Joko Widodo harus Meminta Maaf Kepada PKI sekaligus mencairkan uang kompensasi ganti rugi penderitaan para anggota PKI sebesar ratusan trilyun.
Cara-cara tersebut ternyata tidak berhasil. TNI sebagai Benteng Pancasila terus berada di garis depan dalam membentengi Bangsa Indonesia dari gerakan-gerakan separatis PKI dewasa ini yang sudah menggunakan istilah KGB atau disebut juga Komunis Gaya Baru.
Dalam sebuah kesempatan Cendana News bertemu dengan Taufiq Ismail budayawan serta aktivis anti komunis angkatan 1966 di Taman Ismail Marzuki, maka kami berhasil mendapatkan sedikit masukan positif tentang bagaimana cara Bangsa Indonesia kedepannya dalam menyikapi kebangkitan Komunis dengan gaya barunya di Indonesia.
Taufiq Ismail mengatakan, bahwa kekejian yang dilakukan PKI dalam rentang waktu sejak 1926 hingga 1965 telah menelan korban sangat besar dari kaum alim ulama, TNI-Polri, dan masyarakat. Jadi tidak ada istilah permintaan maaf dari negara. Jika menginginkan sekedar konsolidasi saja untuk saling melupakan perselisihan itupun sudah terjadi sejak bertahun-tahun yang lalu karena hak-hak para bekas anggota PKI sudah dipulihkan sejak era pemerintahan Presiden Abdurrachman Wahid di Indonesia.
” sebuah kekejian dan kekejaman ideologi Komunis yang dibalut rapih dalam institusi Front Demokrasi Rakyat, atau apapun itu istilahnya, semua adalah Komunis dengan gaya barunya. Sejarah tetap mencatat kekejian Komunis di Indonesia, berikut usaha-usahanya untuk melumpuhkan TNI-Polri serta pengaruh alim ulama di masyarakat,” terang Taufiq Ismail.
” jika memang konsolidasi itu tulus, maka kami dari angkatan 66 akan dilibatkan semua. Anda bayangkan saja saya tidak diperbolehkan masuk ke forum konsolidasi buatan mereka di Hotel Aryaduta dua bulan yang lalu. Mengapa demikian, karena saya adalah salah satu dari sekian banyak saksi sejarah kekejian mereka di Indonesia,” tambahnya.
Untuk saat ini gerakan dalam menangkis serangan Komunis bergaya baru di Indonesia masih dalam tatanan humanis. Maksudnya adalah, jika ada diskusi maka akan dihadapi dengan diskusi pula. Jika ada edukasi dari kaum Komunis terhadap anak-anak muda Indonesia maka akan dihadapi dengan edukasi pula dengan masuk ke sekolah-sekolah hingga kampus-kampus perguruan tinggi untuk memberikan edukasi sebenarnya tentang betapa bahaya laten Komunis harus dihindari dari bumi Indonesia.
Nada serupa juga terlontar dari Mayjend TNI (purn) Kivlan Zen di Graha 66 Jakarta dalam acara pertemuan yang digagas Angkatan 66 Arif Rahman Hakim. Jendral berbintang tiga tersebut dengan keras menyatakan sikap serta kesiapannya dalam kapasitasnya sebagai prajurit Sapta Marga untuk menghalau segala bentuk kebangkitan Komunisme entah melalui KGB (Komunis Gaya Baru) atau apapun itu. Namun kadar cara penanggulangannya saat ini masih pada tingkatan secara humanis dan belum membutuhkan cara-cara diluar itu.
” namun perlu diketahui, TNI dalam hal ini tetap dalam barisan yang sama yaitu sebagai Benteng Pancasila. Panglima TNI saat ini bahkan bersikap tegas terkait gerakan-gerakan pengumpulan massa ilegal bernafaskan PKI di seluruh Indonesia. Jadi secara komando, TNI terus memantau kebangkitan PKI bergaya baru dewasa ini,” Jelas Kivlan Zen.
” untuk saat ini menghadapi mereka serta cara-cara yang mereka lakukan adalah, jika mereka bermain dengan tulisan, maka kami akan bermain dengan tulisan. Namun tetap dalam kewaspadaan tinggi, karena jika tiba-tiba mereka bermain dengan kekuatan maka kami siap dengan kekuatan untuk menghalau mereka. Komunis bukan ideologi bangsa walau dibaluti dengan topeng apapun. Pancasila adalah dasar serta ideologi Negara Kesatuan Republik Indonesia,” pungkasnya di Graha 66 Jakarta.
Bagaimanapun cara PKI dalam mengintimidasi aparat keamanan baik itu TNI maupun Polri sejak dahulu akhirnya berujung pada penumpasan PKI beserta ormas-ormasnya di tahun 1965 dibawah komando Pimpinan Sementara Angkatan Darat kala itu MayJend Soeharto. Ketakutan akan kebangkitan PKI di bumi Indonesia tidak perlu terlalu dilebih-lebihkan apalagi dieksploitasi menjadi sebuah ketakutan yang berujung pada penggalangan kekuatan secara anarkis untuk menghabisi para anggota PKI.
Bangsa ini memiliki Benteng Pancasila yang mumpuni yaitu Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan juga memiliki abdi masyarakat yang sudah terbukti profesionalitasnya selama ini yaitu Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri). Dengan mempelajari bukti-bukti sejarah maka kami yakin bangsa ini tidak akan terpeleset kedalam lubang yang sama lagi terkait faham komunisme.
Hanya saja perlu diwaspadai selalu dengan berhati-hati terhadap pengaruh-pengaruh yang nantinya mungkin datang dari para pengikut-pengikut PKI dewasa ini. Apalagi sekarang ini sudah mulai ditemukan pekerja-pekerja tambang maupun pekerja buruh ilegal dari Tiongkok di Balikpapan serta beberapa tempat lainnya yang mirisnya bisa bebas masuk ke Indonesia melewati sistim keimigrasian negara ini dengan mudahnya.
Ideologi Komunis beserta beragam terminologi ataupun kedok yang digunakan tidak akan berhasil mengganti Pancasila. Rakyat yang sudah cerdas dan melek sejarah tentunya tidak ingin kembali ke masa kelam pembantaian serta kekejian PKI yang dulu pernah terjadi. Pembahasan diatas baru terkait upaya PKI mengintimidasi TNI-Polri, masih banyak bukti-bukti sejarah lainnya terkait intimidasi PKI terhadap Alim Ulama dan Masyarakat dengan cara pembunuhan keji. Jadi sekali lagi rakyat sudah jeli dan bisa mempertimbangkan segala sesuatunya dengan seksama. Dan rakyat harus percaya kepada TNI sebagai Benteng Pancasila. Panggilan sebagai prajurit Sapta Marga merupakan sebuah dukungan moril dari TNI kepada rakyat untuk menjaga rakyat serta Pancasila sampai di akhir hayat mereka.(Miechell Koagouw)
Sumber : Pusat Sejarah TNI Monumen Lubang Buaya Jakarta timur
Lihat juga...