SELASA, 26 JANUARI 2016
Jurnalis: Charolin Pebrianti / Editor: Gani Khair / Sumber foto: Charolin Pebrianti
SURABAYA—Terkait peristiwa pemboman di kawasan Thamrin Jakarta, banyak kecaman yang datang dari berbagai pihak. Namun yang menjadi sorotan saat ini, banyaknya siswa sekolah yang mengikuti aksi damai menolak adanya kegiatan teroris.
![]() |
Karolin Rista, S.Psi, M.Psi. |
Dosen Psikologi Universitas 17 Agustus 1945 (Untag) Surabaya, Karolin Rista, S.Psi, M.Psi., menerangkan fenomena adanya aksi penolakan terorisme dengan melibatkan siswa sebenarnya termasuk dalam sistem pembelajaran.
“Pemahaman terhadap apa itu teroris penting untuk siswa,” terangnya kepada Cendana News, Selasa (26/1/2016).
Para siswa sebelum diajak melakukan aksi harus ada kelas pemahaman, apa itu teroris, bagaimana bereaksi dan lain sebagainya. Lalu diajak beraktifitas misalnya dengan cara melakukan aksi damai menolak aksi teroris, itu masuk ke dalam pembelajaran.
“Memberikan pemahaman anak terhadap terorisme lebih utama, daripada mengajari anak bereaksi terhadap terorisme dengan melakukan aksi,” ujarnya.
Karolin menambahkan pemahaman terhadap aksi terorisme sangat penting untuk anak-anak. Penekanan bukan pada aksi yang dilakukan, namun rasa persatuan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Mulai dari nilai sosial dalam Pancasila juga nilai rasa keberagaman dalam satu negara.
“Misalnya (maaf) teroris cenderung ke agama Islam, harusnya ada pembelajaran terkait Islam seperti apa, bahwa Islam menolak adanya aksi teroris,” imbuhnya.
Penanaman nilai dasar Pancasila, spiritual dan sosial lebih mendasar diajarkan kepada siswa. Tentang bagaimana hidup dalam keberagaman di NKRI, nilai Pancasila yang harus dipegang teguh, dan menjaga keteguhan spiritual.
“Boleh melakukan aktifitas apapun, seperti pengecaman dan aksi damai. Tapi, jika ada oknum yang menghasut dan mendekat harus ada proteksi diri seperti apa,” pungkasnya.