Egoisme Sektoral Penghambat Program Pariwisata Indonesia 2016

SENIN, 18 JANUARI 2016
Penulis: Rustam / Editor: Sari Puspita Ayu 


Pemerintah Tak Jeli Melihat  Egoisme Daerah


CATATAN JURNALIS — Masyarakat Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra) harus bangga bahwa Pemerintah Indonesia, melalui Kementerian Pariwisata RI menjadikan Wakatobi  sebagai salah satu dari 10 (sepuluh) destinasi pariwisata yang menjadi prioritas tahun 2016.
Bangga sebab Wakatobi yang dulu tidak dikenal di Indonesia terlebih di dunia internasional, tapi kini di era Pemerintahan Presiden Joko Widodo diharapkan dapat menjadi sumber devisa negara, bersama 9 (sembilan) destinasi pariwisata Indonesia lainnya.
Destinasi lain yang jadi prioritas adalah Danau Toba di Sumatera Utara, Tanjung Kelayang di Belitung, Kepulauan Seribu di Jakarta, Tanjung Lesung di Banten. Kemudian Candi Borobudur di Jogjakarta, Gunung Bromo, Tengger dan Semeru di Jawa Timur.
Lalu obyek wisata Mandalika di Nusa Tenggara Barat (NTB), Pulau Morotai di Maluku Utara dan destinasi prioritas yang terakhir adalah Labuan Bajo di Nusa Tenggara Timur (NTT).
Menurut Arief Yahya, Menteri Pariwisata RI, dengan adanya sepuluh destinasi pariwisata Indonesia yang menjadi prioritas, diharapkan dapat meningkatkan kunjungan wisatawan nusantara (wisnus) dan wisatawan mancanegara (wisman)
Sepanjang tahun ini, target kunjungan wisatawan mancanegara sebanyak 12 juta orang, wisatawan lokal 260 juta orang yang melakukan perjalanan. Dari jumlah tersebut, Menteri Pariwisata menargetkan perolehan devisa negara Rp 172 Triliun dan terjadi pengeluaran wisnus Rp 223 Triliun.
Kemudian untuk mendukung program dan target Kementerian Pariwisata itu, Pemerintah Indonesia mengalokasi anggaran sebesar Rp 3 Triliun untuk kegiatan promosi ke luar negeri. Dari angka Rp 3 Triliun, 50 persen akan dialokasikan untuk branding pariwisata Indonesia, kemudian sebagian dialokasikab untuk mendukung 10 event pariwisata yang akan dilakukan tahun 2016.
Melihat program dan target tersebut, tentu masuk akal dan logis. Hanya mengeluarkan anggaran Rp 3 Triliun untuk menghasilkan pendapatan negara Indonesia dengan nilai ratusan triliun. Wow, modal kecil untung besar.
Melihat program nasional dalam dunia kepariwisataan Indonesia, lalu peran pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten dimana? Apakah Kementerian Pariwisata RI bertindak One Man Show (tunggal) ataukah membutuhkan sinergi antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah?

Bila membutuhkan sinergi atau kerjasama program, maka ada sekat yang perlu digeser atau bahkan harus dihilangkan, sehingga target nasional sektor pariwisata dapat tercapai.
Sekat yang dimaksud adalah hilangkan sikap egoisme sektoral kepala daerah, antara seorang gubernur dengan bupati atau walikota, khususnya di wilayah sepuluh destinasi pariwisata Indonesia yang menjadi prioritas tahun 2016.
Egoisme sektoral yang dimaksud di sini adalah, sejak diberlakukannya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 Otonomi Daerah (Otoda), hingga sekarang ada kesan bahwa kepala daerah mempunyai kewenangan sendiri mengurus daerahnya. Meskipun kemudian Pemerintah Indonesia telah meluruskan melalui Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Otonomi Daerah.
Tetapi tetap saja,  seolah-olah kewenangan ini diartikan bahwa tidak dibutuhkan koordinasi dalam hal merencanakan program pembangunan, khususnya di sektor pariwisata. Kewenangan ditafsirkan, tidak boleh dicampuri. Maaf bila kalimat ini dimaknai hiperbola, atau dapat menimbulkan multi tafsir sentimen pribadi.
Sebagai contoh di Provinsi Sultra. Saat Menteri Pariwisata Arief Yahya menetapkan 10 destinasi pariwisata prioritas di Indonesia, disertai target kunjungan wisman dan wisnus tahun 2016 pada tanggal 30 Desember 2015 di Jakarta.Di Kendari, Nur Alam Gubernur Sultra, fokus mempromosikan Bokori Island sebagai destinasi baru pariwisata di Sultra.
Padahal Kabupaten Wakatobi yang mulai banyak dikunjungi wisatawan lokal dan mancanegara sejak Wakatobi otonom, sesuai UU No 29 Tahun 2003. Angka kunjungan tersebut setiap tahun mengalami trend peningkatan. Bahkan di Pulau Wakatobi beberapa kali diselenggarakan iven berskala nasional dan internasional, seperti Sail Wakatobi, lomba fotograpi bawah laut bertaraf internasional dan banyak iven lainnya.
Dalam sudut pandang promosi pariwisata, baik di dalam negeri maupun di luar negeri, bahwa Wakatobi Island (Pulau Wakatobi) jauh lebih layak jual bila dibandingkan Bokori Island (Pulau Bokori).
Pemerintah Kabupaten Wakatobi sudah mempromosikan obyek wisata bawah lautnya sejak tahun 2004 hingga 2016. Artinya sudah 12 tahun dipromosikan. Sudah hampir semua media cetak, televisi, online dan radio serta media sosial di Indonesia  maupun negara lain, mengulas tentang Wakatobi.
Sudah banyak orang beken (terkenal) Indonesia yang datang berkunjung ke Wakatobi. Demikian halnya pejabat Indonesia maupun dari negara lain ke pulau tukang besi ini.
Tidak bermaksud mengecilkan potensi obyek wisata Bokori Island. Tapi Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Provinsi Sultra dan Nur Alam Gubernur Sultra, sebaiknya lebih arif, bijaksana dan fokus mendukung pariwisata Wakatobi Island. Bukan seolah-olah membuat program rivalitas dengan mengalokasikan anggaran miliaran untuk membangun fasilitas mewah di Bokori Island.
Bahkan pada saat Nur Alam merayakan pergantian tahun 2015 ke 2016 di Bokori Island, sempat menyampaikan ke publik bahwa tahun 2016  telah dialokasikan dana Rp 25 Miliar untuk membangun berbagai fasilitas, termasuk lapangan golf.
Dari sisi promosi dan marketing (pemasaran), Bokori Island belum sepopuler Wakatobi Island. Pulau ini baru diresmikan akhir Oktober 2015, bersamaan dengan diselenggarakannya seri Kejurnas bola voli pantai.
Dari sisi faktor pendukung, Wakatobi Island lebih komprehensif dibandingkan Bokori Island. Di Bokori terumbu karangnya sudah hancur akibat pengeboman ikan oleh para nelayan. Bila melihat fenomena ini, bahwa untuk mensukseskan pendapatan devisa negara Indonesia dari sektor pariwisata tahun 2016 sebesar Rp 172 Triliun, sepertinya sulit dicapai.
Presiden Jokowi jangan lengah mengawasi progres Kementerian Pariwisata setiap bulan. Kemudian pelototi kepala daerah yang seenak dewe merancang program kepariwisataan. 
Tapi yang jelas, program pemerintah pusat harus singkron dengan pemerintah provinsi,  kabupaten/kota, kecamatan sampai desa/kelurahan.
Maaf bukan  bermaksud mendewakan zaman Soeharto mantan Presiden RI ketika masih berkuasa, tetapi apa yang dirasakan dan dilihat masyarakat Indonesia, bahwa terjadi harmonisasi dan singkronisasi dari pemerintah pusat sampai daerah.
Rustam, Jurnalis Cendana News
Wilayah Sulawesi Tenggara
Lihat juga...