SENIN, 18 JANUARI 2016
Penulis: Koko Triarko / Editor: Sari Puspita Ayu / Sumber foto: Koko Triarko
CATATAN JURNALIS—Siapa tak kenal Candi Borobudur? Candi paling mahsyur di dunia itu sudah diakui UNESCO sebagai warisan budaya dunia. Keindahannya sungguh tiada tara. Namun, silamnya masa Candi Borobudur membuat kajian sejarahnya tak pernah paripurna. Tetapi justru karena itu, Candi Budha terbesar di dunia tersebut senantiasa mengundang rasa ingin tahu.
![]() |
Bhante Don Attaphiyo |
Candi Borobudur berada di Desa Mungkid, Magelang, Jawa Tengah. Candi Boroburur pertama kali ditemukan oleh Gubernur Jenderal Inggris, Thomas Stanford Raffles, pada tahun 1814 Masehi. Dari angka tahun tersebut, penemuan Candi Borobudur hingga sekarang berarti telah berusia 202 tahun.
Pada tahun 1814 Masehi itu, Thomas Stanford Raffles yang ketika itu berkuasa di Jawa mendengar kabar jika di kawasan Dusun Borobudur terdapat sebuah struktur batu berpahat. Raffles kemudian memerintahkan Cornelius mengadakan ekspedisi untuk menyingkap kebenaran kabar itu. Dari ekspedisi tersebut, teryata memang ditemukan struktur batuan dalam keadaan runtuh tertimbun tanah dan ditumbuhi pepohonan. Cornelius beserta masyarakat lalu mencoba membersihkan strukur yang diduga sebuah candi tersebut.
Namun, proses pembersihan itu terhenti, dan baru dilanjutkan lagi pada tahun 1834 Masehi oleh Residen Kedu saat itu, Hartman. Candi Borobudur lalu menjadi terkenal di dunia ketika Raffles menyebut nama Borobudur dalam bukunya yang terkenal, History of Java. Diketahui, Candi Borobudur sejak diketemukannya telah mengalami dua kali pemugaran. Pertama pada periode tahun 1907-1911, tahun 1973-1983 dan tahun 1991.
![]() |
Perayaan Waisak di Cando Borobudur |
Lalu dari tahun ke tahun, Candi Borobudur kian dikembangkan dan digali seluk-beluknya, dan pada puncak ketenarannya, Candi Borobudur diakui oleh UNESCO sebagai warisan budaya dunia.
Membabar Candi Borobudur, tentu saja terasa kering jika hanya mengupas sejarah dan angka tahun penemuannya. Sementara sejumlah seminar berkait Candi Borobudur seringkali hanya mengupas aspek sejarah, arkeologis dan nilai pentingnya bagi dunia pariwisata dan budaya universal.
Candi Borobudur memang teramat “dalam” untuk dikupas tuntas. Sedemikian banyak makna dan misteri yang tersirat dari pola bangunan, stupa dan relief serta arca yang ada. Belum lagi soal latar belakang pembangunannya yang dalam sejarah disebutkan dibangun oleh Raja Samaratungga di abad 8-9 Masehi. Jika Candi Borobudur dipercaya sebagai peninggalan umat Budha terbesar di dunia, apakah berarti peradaban Budha terbesar di dunia waktu itu ada di Jawa-Nusantara? Bagaimana dengan Budha di Indhia, Tibet, China dan negara lain yang juga memiliki peninggalan berlatar Budha bernila historis tinggi?
![]() |
Candi Borobudur |
Belum lagi, Sang Budha Gautama yang arca dan patungnya banyak menghiasi candi-candi Budha dan Vihara menjadi misteri tersendiri. Patung Sang Budha digambarkan dengan beragam bentuk dan gaya, sehingga sulit bagi awam untuk memahaminya. Candi Borobudur memang sebuah misteri besar. Pengetahuan tentangnya hanya sebagian kecil saja dari yang bisa dibaca dari relief candi, sumber prasasti dan kitab-kitab suci Budha. Silamnya masa jaya Candi Borobudur, menjadi keterbatasan para ahli untuk mengungkap semua misteri candi paling sohor itu.
Namun demikian, perspektif lain dari Candi Borobudur yang lebih dari sekedar obyek wisata kelas dunia, setidaknya bisa disimak dari pemaparan seorang Bhante atau pandita Budha, yaitu, Bhante Don Attaphiyo. Menurutnya, Candi Borobudur berdasarkan prasasti dibangun oleh Raja Samaratungga dari Dinasti Syailendra di abad ke-8 Masehi. Dinasti Syailendra merupakan raja yang paling berkuasa di zaman Mataram Kuno di Jawa Tengah.
Bhante Attaphiyo yang ditemui dalam sebuah kesempatan di Vihara Mendut, Mungkid, Magelang, Jawa Tengah, menjelaskan, sebuah candi, bagi umat Budha atau Hindu adalah tempat suci. Pembangunannya disertai ritual doa dan diperuntukkan bagi peribadatan umatnya. Namun dalam perkembangannya, semua candi menjadi obyek wisata. Bentuk dan bagian-bagian bangunan dengan berbagai perniknya, dipahami sebagai nilai filosofi. Sebagai tempat suci, kata Bhante, umat Budha menghormatinya dengan melakukan pradaksina atau berjalan mengelilingi puncak candi sebanyak tiga kali sambil berdoa.
Bhante Attaphiyo mengatakan, Candi Borobudur adalah simbol kitab terbesar umat Budha. Dibangun berdasarkan Kitab Budha Mahayana, yang sekarang ini tradisinya sudah tak ada lagi. Namun, kitab dan ajaran Mahayana masih ada. Seluruh bangunan Candi Borobudur, menurutnya, merupakan penjabaran dari kehidupan dan ajaran Sang Budha Gautama. Pola besar bangunan candi yang sudah umum diketahui seperti kamadatu, rupadatu dan arupadatu, juga menjadi bagian utama dari nilai di balik pola bangunan Candi Borobudur.
Pada intinya, kata Bhante Attaphiyo, Candi Borobudur itu adalah simbol ajaran menuju Sang Budha. Menuju alam kesempurnaan, nibhana atau nirvana. Dan, untuk mencapai alam itu ada tiga hal yang harus dihindari. Yaitu, keserakahan, kebencian dan kebodohan batin atau keakuan. Tiga hal ini bukan perkara mudah dan sederhana. Sejumlah relief yang terpahat di dinding Candi Borobudur, menggambarkan betapa perjalanan Sang Budha Gautama begitu panjang dan penuh penderitaan reinkarnasi. Sang Budha Gautama ingin, agar setiap manusia terbebas dari kehidupan yang penuh penderitaan dengan mengajarkan darma kebajikan.
Dijelaskan lagi, relief-relief yang ada di dinding Candi Borobudur mengisahkan perjalanan Sang Budha Gautama dari lahir sampai pertamakali Sang Budha Gautama mengajarkan ajarannya. Dikisahkan dalam relief-relief Candi Borobudur itu, perjalanan panjang Sang Budha Gautama meliputi berbagai macam kehidupan dan berkali-kali reinkarnasi. Kisah Sang Budha Gautama ini, menurut Bhante Attaphiyo, terjadi jauh sebelum Candi Borobudur itu dibangun. Sang Budha Gautama, katanya, adalah manusia biasa yang berhasil mencapai kesempurnaan kebajikan, sehingga mampu terbebas dari kehidupan yang penuh penderitaan reinkarnasi.
Diungkapkannya, salah satu relief Candi Borobudur berkisah tentang Jataka. Sebuah cerita tentang binatang atau fabel, yang menjelaskan tentang reinkarnasi yang dialami oleh Sidharta Gautama. Dalam fabel Jataka, dikisahkan Sidharta Gautama pernah terlahir sebagai binatang. Pernah menjadi gajah, kelinci, monyet, burung puyuh dan sebagainya. Setiap kisah dalam relief itu memberikan nilai moral. Jataka yang berkisah tentang seekor monyet yang dikepung pemburu mengajarkan sebuah pengorbanan seorang pemimpin yang rela mati demi rakyatnya. Sidharta yang terlahir sebagai kerbau hutan mewartakan ajaran tentang kesabaran. Lalu ketika Sidharta terlahir sebagai seekor kura-kura, juga terdapat nilai penting dari sebuah pengorbanan.
Semua kisah fabel itu, kata Bhante Attaphiyo, merupakan kisah reinkarnasi yang dialami oleh Sidharta, jauh sebelum Sidharta itu terlahir sebagai pangeran dan sebelum mencapai alam kesempurnaan. Lalu, Sidharta yang telah begitu banyak mengalami berbagai macam kehidupan, tidak ingin manusia lain mengalaminya. Sidharta ingin mencari jawaban dan solusi atas semua kejadian yang berulangkali harus dialami manusia. Yaitu, sakit, tua dan mati.
Maka, kemudian Sidharta rela meninggalkan segala kemewahannya sebagai seorang pangeran, dan pergi mengembara ke hutan mencari kesempurnaan hidup agar terbebas dari sakit, tua dan mati. Pada awal pencariannya itu, Sidharta menemukan seorang guru pertapa dan menemukan kesadaran, bahwa sakit, tua dan mati itu karena ruh atau jiwa terperangkap di dalam raga. Sidharta lalu menyimpulkan, tubuh itu harus dirusak agar bisa muksa. Lalu bertapalah Sidharta menyiksa diri dengan tidak makan dan tidak minum sehingga digambarkan dalam Arca Budha Gautama yang kurus kering tinggal kulit dan tulang.
Sekian waktu lamanya Sidharta bertapa merusak raga, akhirnya menemukan jawaban. Bahwa, caranya itu tidak benar. Bukan dengan merusak dan menyiksa tubuhnya sendiri unuk mencari kesempurnaan hidup. Lalu, Sidharta kembali bertapa di bawah pohon Bodhi, dan di bawah pohon itulah kemudian Sidharta menerima ajaran Budha.
“Kitab Tripitaka atau Tipitaka itu adalah ajaran Sang Budha yang saat itu ditulis di atas daun lontar. Ti atau Tri artinya tiga. Taka itu keranjang. Waktu itu, ajaran Sang Budha ditulis di atas daun lontar dan menjadi tiga gulungan. Masing-masing dimasukkan ke dalam tiga keranjang. Lalu, kitab itu diberi nama Tripitaka. Sedangkan tiga ajaran atau kitab itu adalah Kitab Vinaya yang berisi tentang kehidupan para bikhu, Kitab Sutra atau Suta yang berisi kotbah Sang Budha tentang ajaran Sang Budha yang harus dijalani oleh bikhu dan Kitab Abhi Dhamma yang mengupas tentang cara berpikir manusia”, pungkas Bhante Attaphiyo.