———————————————————-
Sabtu, 4 April 2015
Jurnalis : Agus Nurchaliq
Editor : ME. Bijo Dirajo
———————————————————-
CENDANANEWS (Malang) – Selain pusat kerajinan keramik yang bertempat di daerah Dinoyo, Malang juga terkenal sebagai pusat kerajinan gerabah yang lokasinya tidak jauh dari pusat kerajinan keramik. Berawal dari kedua orangtuanya yang berprofesi sebagai pengrajin gerabah, Ngadiono (57) akhirnya mengikuti jejak kedua orang tuanya sebagai pengrajin gerabah.
Meskipun harus memasuki gang-gang kecil dan sempit, namun tidak sulit untuk mencari rumah Ngadiono yang berlokasi di Jalan Mayjen Panjaitan Gg. XIX No. 72 Kecamatan Klojen Kota Malang. Karena nama Ngadiono yang sudah cukup dikenal oleh warga sekitar sebagai pengrajin gerabah, sehingga saat Cendana News menanyakan rumah Ngadiono kepada warga, warga langsung tanggap dan langsung menunjukkan rumah Ngadiono kepada Cendana News.
Saat ditemui dirumahnya, Ngadiono rupanya sedang sibuk mempersiapkan acar pernikahan anak ke tiganya. Namun disela-sela kesibukannya tersebut Ngadiono tetap mau meluangkan waktunya untuk di wawancarai Cendana News.
Ngadiono menceritakan bahwa sebenarnya dia dulu justru sempat dilarang oleh orangtuanya untuk menjadi pengrajin gerabah. Karena menurut pengalaman orang tuanya yang dulu juga berprofesi sebagai pengrajin gerabah, orang tua Ngadiono merasa tidak dapat mencukupi kebutuhan ke-9 anaknya jika hanya mengandalkan bekerja sebagai pengrajin gerabah saja, sehingga orang tua Ngadiono melarang dirinya mengikuti jejak mereka, kenangnya kepada Cendana News.
Meskipun Ngadiono sudah dilarang, namun diap tetap saja mengikuti program pelatihan-pelatihan yang sering diadakan oleh pemerintah. Dia merasa bahwa didalam darahnya sudah mengalir darah pengrajin gerabah dari kedua orangtuanya, sehingga dia ingin membuktikan kepada orangtuanya bahwa dia sebagai pengrajin gerabah bisa menghidupi dan mencukupi keluarganya.
Berawal dari situ, pada tahun 1987 dia bersama istrinya memulai usaha gerabahnya. Ngadiono mengaku pada awalnya desain gerabah yang dibuatnya mengikuti desain dari orangtuanya, namun setelah dicoba diproduksi dan dijual ternyata benar peminat kerajinan gerabahnya sedikit, harganya murah dan bahan bakunya mahal karena kerajinan gerabah yang dia buat yang disainnya dia tiru dari orangtuanya hanya berupa peralatan dapur.
Setelah mengikuti beberapa pelatihan, baru dia mengetahui bahwa gerabah tidak hanya dapat di bentuk menjadi peralatan dapur saja, tapi juga dapat dibentuk menjadi barang hiasan seperti vas bunga, tempat pensil, asbak, sovenir pernikahan dan sebagainya.
Awal membuat sovenir, produknya tidak diterima di pasar Malang. Masyarakat Malang bertanya-tanya barang ini fungsinya apa, untuk apa, bahannya apa, harganya berapa. Bahkan dia juga sempat selama 3 tahun memikul barang dagangannya setiap hari dari pasar satu ke pasar yang lain untuk memasarkan produknya.
Karena produksi sovenirnya tidak kunjung laku di pasar Malang, akhirnya dia mencoba belajar dan magang pada pengrajin gerabah yang ada di Yogyakarta. Di situ dia mengadopsi teknologi dan desain dari Yogyakarta untuk di bawa dan di produksi di Malang. Setelah mencoba diproduksi dan mencoba untuk dipasarkan, ternyata respon masyarakat tetap tidak seperti yang dia harapkan.
Karena respon masyarakat tidak terlalu bagus, dia kemudian kembali lagi ke Yoyakarta untuk menanyakan kepada temannya yang juga pengrajin gerabah di Yogyakarta “Mengapa produk milik temannya laku di Yogyakarta tapi produknya tidak laku di pasar Malang, padahal desain produknya dia adopsi dari Yogyakarta”, ujarnya.
Kemudian temannya tersebut memberikan masukan dan mengatakan padanya “Kalau kamu ingin jadi pengusaha, berdirikan benderamu setinggi-tinginya biar bisa dilihat banyak orang,”. Temannya juga menyuruh dirinya untuk menyebarkan brosur, memberi kartu nama kepada konsumen, memberi contoh produknya di toko-toko yang ada di Malang sebagai konsumen.
Setelah kurang dari 3 bulan dia menerapkan apa yang dikatakan oleh temannya tersebut, ternyata benar, kemudian satu persatu pelanggannya mulai berdatangan dan pesanan jugai mulai banyak. Saat pesanan dan permintaan terhadap produknya mulai tinggi, dia bermasalah dengan permodalan. Dari masalah tersebut, akhirnya dia menerapkan sistem Down Payment (DP) 50% dari total harga pesanan konsumen yang harus dibayarkan. Uang DP 50% ini kemudian dia kelola agar bisa menjadi barang yang dipesan konsumen, sehingga sisa uang 50% nya lagi bisa menjadi keuntungan buat dirinya.
Awalnya dia memasarkan produknya di pasar lokal Malang, kemudian dia kembangkan ke pasar regional Jawa Timur, hingga sekarang dia sudah merambah ke Sumatra, Kalimantan dan Sulawesi. Harga yang ditawarkan juga cukup terjangkau yaitu berkisar Rp. 1.000-3.500,- dengan minimal order 500 pcs. Ngadiono mengatakan “Alhamdulillah untuk bulan April ini saya sudah mendapatkan 8 ribu pesanan dari berbagai daerah,” ujarnya dengan raut bahagia.
Dia menjelaskan, meskipun sovenir-sovenir sekarang di dominasi oleh bahan dari keramik tapi dia tidak ingin berubah haluan. Karena menurutnya, kerajinan gerabah ini memiliki sejarah yang panjang yang sudah di mulai pada zaman kerajaan dimana pada zaman tersebut sudah ada yang membuat peralatan dapur dari gerabah. Sehingga dia ingin mempertahankan dan melestarikan kerajinan ini, ujarnya.
Ngadiono juga menjelaskan perbedaan kerajinan keramik dan kerajinan gerabah. Menurutnya pada dasarnya kerajinan keramik dan kerajinan gerabah itu sama yang membedakan hanya suhu pada proses pembakarannya. Jika gerabah dibakar pada suhu dibawah 1000?C sedangkan keramik dibakar pada suhu lebih dari 1000?C. Karena jika gerabah dibakar diatas suhu 1000?C maka gerabah akan meleleh, jelasnya.
Untuk membuat kerajinan gerabah dia menggunakan bahan baku lempung (tanah liat) dan pasir kali yang dia peroleh dari daerah Malang seperti di Wagir dan Wendit. Lempung yang digunakan dipilih yang halus. Sedangkan untuk pewarnaannya dia menggunakan pewarna sablon dan cat minyak.
Untuk proses pembuatannya setelah bahan baku lempung tersedia, kemudian lempung mulai dibentuk. Untuk membentuk lempung ini dapat dilakukan dengan dua cara yaitu dengan teknik putar kaki dan cetak tekan. Setelah proses pembentukan, kemudian masuk pada tahap dekorasi yang langsung dilanjutkan pada tahap pengeringan selama 3 hari (diangin-anginkan).
Setelah kering, kemudian masuk pada tahap pembakaran menggunakan tungku yang memakan waktu kurang lebih 6 jam dimana pada 4 jam pertama pemanasan menggunakan api kecil. Setelah 4 jam kemudian api dibesarkan kurang lebih selama 2 jam hingga mencapai suhu 600-700?C. Khusus untuk proses pembakaran dia tangani sendiri, karena proses ini yang menentukan jadi tidaknya kerajinan gabah ini.
Menurutnya untuk orang yang menangani proses pembakaran ini harus mengetahui karakter dari bahan baku yang digunakannya karena tanah liat memiliki sifat yang berbeda-beda, ada yang tahan panas ada juga yang tidak terlalu tahan panas.
Setelah dibakar baru kemudian kerajinan gabah masuk pada tahap pewarnaan yang di dipercayakan kepada istri dan 2 orang karyawannya. Total Ngadiono memiliki 6 karyawan untuk membantunya membuat berbagai macam kerajinan gerabah.
Dalam usaha kerajinan gerabah ini, Ngadiono mengaku bisa memperoleh keuntungan kotor sekitar 12 juta per hari. Sehingga dia bisa mencukupi kebutuhan rumah tangganya sehari-hari, akunya.
Disekitar daerah tempat tinggalnya ini dulunya terdapat banyak pengrajin gerabah. Pada tahun 1980-an terdapat kurang lebih sekitar 40-45 orang pengrajin gerabah namun sekarang tinggal 15 orang pengrajin gerabah saja, itupun separuhnya masih angin-anginan.
Menurutnya, menurunya jumlah pengrajin gerabah ini disebabkan karena manajemen dari pengrajin yang kurang baik sehingga penghasilan yang diperoleh tidak seperti yang diharapkan.