“Pertama, rasa dendam saya terhadap orang-orang PKI Madiun 1948. Saya hampir mati dibantai mereka. Kedua, hati nurani saya mengatakan, jika Aidit ini saya tawan dan saya serahkan hidup-hidup, nanti sudah pasti ia akan bebas. Kalau bebas, perjalanan sejarah akan menjadi lain. Saya melihat mati hidupnya Aidit berkaitan erat dengan persoalan sejarah bangsa Indonesia. Menurut saya lebih baik Aidit dihukum mati lebih dahulu. Kalau saya nanti dianggap salah, saya bersedia mati untuk itu, yang penting sejarah bangsa ini tertolong”.
Begitu lanjut Yasir memaparkan peristiwanya. Memberi alasan kenapa ia mengeksekusi Aidit. Apakah benar ia menginstruksikan pasukannya membunuh Aidit. Atau ia melidungi anak buahnya yang berebut mengeksekusi Aidit. Tidak tertulis dalam catatan itu. Ia melapor kepada Pak Harto dan mengaku bertanggung jawab.
“Tidak !. Saya yang akan mempertanggungjawabkannya”.
Begitu jawaban tegas dari Pak Harto. Ia yang memerintahkan pasukan Yasir menumpas PKI di Jateng. Ia dengan kesatria mengambil alih tanggung jawab. Yasir dilindungi dari beban tanggung jawab.
“Saya berhutang nyawa sama Pak Harto”. Tulis Yasir lagi.
Apa kaitan kisah ini dengan koruptor?. Ialah kekepercayaan diri pelaku kejahatan mengingkari kejahatannya.
Petualangan Aidit menyebabkan pimpinan TNI AD terbunuh. Ia justru berorasi di hadapan tentara yang batinnya terluka. Oleh terbantainya pimpinan puncaknya. Dengan tanpa beban, tanpa rasa bersalah. Mengilustrasikan dirinya sebagai pahlawan. Tentu memancing emosi satuan-satuan tentara itu.
Kini koruptor juga melakukan hal yang sama. Momentum pendek berbicara dihadapan media dimanfaatkan “orasi singkat”. Membuat framming dirinya dikriminalisasi, teraniaya. Menggambarkan diri layaknya Diponegoro ditangkap oleh kompeni Belanda. Pahlawan bangsa.