Self-Destructive

OLEH HASANUDDIN

SESEORANG, atau sekelompok orang, atau dalam skala yang lebih luas, negara bisa merusak dirinya sendiri, atau melakukan self-destructive atas kesatuan organisnya. Secara pshycologist, ini dimulai dengan kecenderungan berpikir jangka pendek, yang melahirkan sikap pragmatis.

Pragmatisme dalam berpikir, menghasilkan kesenangan sesaat, tanpa memperhatikan apa dampaknya dalam waktu yang panjang. Kebiasaan berpikir pragmatis, menikmati kesenangan sesaat (hedonis), akan menjadi aditif dengan perilakunya.

Lambat laut, kebiasaan seperti itu akan  diyakininya sebagai kebenaran. Pada tahap ini, tidak ada lagi yang mampu memberinya peringatan. Kesadaran organisnya secara reflektif menolak bahkan membenci mereka yang mengingatkannya. Emosinya naik, jika melihat orang yang biasanya mengawasi atau memperhatikan kelakuannya.

Seorang anak misalnya akan melawan orang tuanya jika mengingatkan kebiasaannya bermain game, yang sudah menyebabkan dirinya aditif terhadap permainan game. Seorang koruptor, akan membenci temannya sendiri jika mengingatkan akan perilaku koruptifnya. Para penguasa akan bertindak represif jika ada yang berwacana, apalagi menyerukan perlawanan terhadap kebiasaan mereka bertindak tidak sejalan dengan peraturan dan perundang-undangan. Semua itu adalah gejala dari proses berlangsungnya self-destructive.

Ketergantungan kepada impor misalnya, telah membangun suatu kesadaran bahwa itulah yang paling baik untuk dilakukan. Dan menolak pandangan yang menghangatkan agar negara membangun kedaulatan ekonominya sendiri. Kebiasaan berutang, ini juga lambat laut diyakini sebagai kebenaran, dan menolak pandangan yang menganjurkan agar memperkuat fundamental ekonomi nasional. Itu beberapa contoh, dari gejala bergeraknya negara ke arah self-destructive.

Lihat juga...