Bukan hanya sampai di situ.
Makna sila keempat bukan sebatas pemerintahan diselenggarakan secara demokratis an sich. Melainkan ada frase berikutnya. “Dipimpin hikmat kebijaksanaan”. Kemudian disusul frase “dalam permusyawaratan perwakilan”. Jadi sistem demokrasi itu dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam sistem permusyawaratan perwakilan.
Apa makna “dipimpin hikmat kebijakasanaan”. Bagaimana konsep operasionalisasi “kepemimpinan hikmat kebijaksanaan” itu. Bagaimana bentuk kelembagaan atau institusi pelaksananya.
Pada titik ini banyak masyarakat tidak memahami. Tema ini juga jarang menjadi concern diskursus publik.
Sila ke empat Pancasila mirip konsep problem solver dalam ajaran Islam. “Selesaikan urusanmu secara musyawarah, melalui bimbingan orang-orang sholih”. Sila keempat Pancasila jika diterjemahkan secara bebas “selesaikan urusan kebangsaanmu secara musyawarah melalui perwakilan rakyat dengan bimbingan ‘hikmat kebijaksanaan’”.
Apa itu “bimbingan hikmat kebijaksanaan”?. Ialah kearifan tertinggi.
Demokrasi harus dibimbing kearifan tertinggi. Bukan sekedar cara pandang murni para wakil-wakil rakyat belaka.
Maka pendiri negara merumuskan institusi para pembimbing hikmat kebijaksanaan itu dalam bentuk Utusan Golongan MPR.
Keanggotaan MPR dalam UUD 1945 asli terdapat tiga elemen. Pertama anggota DPR. Kedua, Utusan Daerah (UD). Kini berubah menjadi Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Ketiga, Utusan Golongan (UG). Kini dihapus oleh amandemen.
Ketiganya: DPR, UD dan UG berkewajiban merumuskan arah kebijakan negara dalam bentuk GBHN. Haluan Negara.