PRABOWO DIHANTAM DUA KEMARAHAN (?)

Oleh: Abdul Rohman Sukardi

Narasi “tidak ada pilihan lain sehingga terpaksa memilih Prabowo” di masa lalu (pilpres 2014 &2019), hanyalah kamuflase. Kemarahan itu sebenarnya ekspresi tersapih -nya dari figur potensial yang kini tidak lagi bisa dijadikan “kuda troya” bagi kepentingannya.

Kelompok itu terpaksa mencari “kuda troya” lainnya yang dinilai bisa untuk menitipkan kepentingannya. Prabowo menjadi pihak yang kini dimusuhinya.

Kedua, kemarahan dari Ketum Megawati beserta pendukungnya. Prabowo dalam pilpres 2024 ini berhasil memperoleh dukungan dari Presiden Joko Widodo. Oleh akibat konflik antara presiden dan Ketua Umum PDIP itu. Termasuk kemudian mengantarkan putra presiden menjadi calon wakil presiden dari Prabowo.

Dukungan presiden itu ternyata efektif. Berdasarkan sejumlah survei, elektabilitas capres PDIP merosot. Potensi perolehan suara PDIP juga terancam merosot. Bukan hanya di Jawa Tengah. Di kantong-kantong PDIP daerah lain pun menunjukkan gejala sama.

Kini para pengurus PDIP terpaksa berusaha keras. Bukan saja mendongkrak perolehan suara capresnya. Akan tetapi juga harus menyelamatkan PDIP dari kemerosotan.

Dua kemarahan itu diekspresikan dengan menggelontorkan black campign secara gencar kepada Prabowo. Kubu pertama banyak mengeksploitasi isu-isu sensitif religius. Prabowo di framming tidak layak secara religius untuk dipilih. Padahal pada pilpres 2014 & 2019 di framming sebagai capres pihat ummat.

Isu agama memang lekat pada kelompok pertama ini. Sebagai cara yang dinilai efektif mempengarui pilihan ummat Islam. Maka jargon-jargon keagamaan menjadi alat jualan kepentingannya.

Sedangkan pihak kedua membidik Presiden Jokowi dan keluarganya untuk dilemahkan dihadapan publik. Keluarga Presiden Jokowi di framming tidak berbalas budi kepada PDIP yang membesarkannya. PDIP lupa jika keluarga presiden juga pernah dijatuhkan martabatnya sebagai “petugas partai”. Termasuk terakhir isu pengunduran sejumlah menteri kabinet.

Lihat juga...