Pertarungan politik Jenderal AH Nasution dan Jenderal Soeharto di Sidang Istimewa MPRS 1967

Noor Johan Nuh

Noor Johan Nuh

Setelah berhasil menumpas kudeta berdarah Gerakan 30 September PKI-1965, tanggal 11 Maret 1966, Jenderal Soeharto menerima Surat Perintah dari Presiden Soekarno. Surat perintah itu dikenal dengan Supersemar kepanjangan dari surat perintah sebelas maret.

Berdasarkan surat perintah itu, atas nama Presiden, tanggal 12 Maret 1966, PKI dibubarkan.

Pembubaran PKI adalah salah satu dari tiga tuntutan rakyat dalam Tritura yang dideklarasikan oleh mahasiswa pada 10 Januari 1966. Dua tuntutan lainnya yaitu turunkan harga dan reshuffle kabinet belum terwujud. Hal ini membuat mahasiswa dan berbagai organisasi massa melakukan demo setiap hari.

Pada waktu itu tingkat inflasi mencapai 650%, akibatnya harga-harga kebutuhan pokok melambung tinggi tidak terkendali, ditambah lagi menteri-menteri yang terindikasi terlibat kudeta Gerakan 30 September tetap bercokol dalam kabinet. Dua hal ini membuat iklim politik menjadi carut marut tidak kondusif.

Menyikapi carut-marut keadaan politik, ekonomi dan keamanan pada waktu itu, MPRS mengadakan Sidang Umum IV pada Juni 1966.

Dalam sidang itu dikeluarkan ketetapan mengenai pembentukan Kabinet Ampera dan Jenderal Soeharto sebagai Ketua Presedium Kabinet. Juga ditetapkan jika Presiden Soekarno berhalangan maka yang menggantikan Jenderal Soeharto. Selain itu, Supersemar ditingkatkan menjadi Ketetapan MPRS no IX.

Dengan ketetapan-ketetapan MPRS tersebut, posisi politik Jenderal Soeharto menjadi sangat kuat. Dalam posisi seperti itulah ia didesak untuk segera mengakhiri dualisme pimpinan nasioanal yakni Presiden Soekarno dan Jenderal Soeharto.

Maka pada Maret 1967, MPRS mengadakan Sidang Istemewa. Dalam sidang itu, fraksi-fraksi di MPRS sebagai representasi Partai Politik, Utusan Golongan dan Utusan Daerah, mendesak agar Jenderal Soeharto ditetapkan menjadi presiden menggantikan Presiden Soekarno.

Lihat juga...